Lebih lanjut, pendapatan nelayan hilang mencapai Rp990 miliar, serta berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan kelanjutan kebijakan tambang pasir laut justru menambah permasalahan baru. Ia berujar, permasalahan itu yakni adanya penambahan angka pengangguran yang ada di Indonesia.
“Ekspor pasir laut justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir,” ujar Bhima dalam keterangan yang sama.
Baca Juga:Selamat Hari Radio Republik IndonesiaUMKM Dirugikan, Menkominfo Sebut Aplikasi TEMU Bahaya, Jangan Masuk ke Indonesia
Menurut dia, penambangan pasir laut dengan cara dihisap akan merugikan banyak sumber daya manusia. Sebab, kata Bhima, proyek tambang itu hanya mempergunakan mesin tanpa melibatkan banyak tenaga manusia.
“Model penambangan pasir laut dengan kapal isap dan pengangkutan tongkang juga cenderung padat modal (capital intensive) bukan padat karya (labor intensive),” ucapnya.
Adanya penggunaan mesin dalam tambang pasir laut, Bhima menilai hal tersebut tidak memiliki hubungan dalam menaikan pertumbuhan ekonomi. “Tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing.” kata Bhima.
Lebih lanjut, ia menuturkan, penambangan pasir laut menyebabkan degradasi ekosistem laut. Sehingga, kata Bhima, hal tersebut akan berdampak pada perikanan tangkap.
“Data historis sebelumnya pada tahun 2001 hingga 2009 ikut menunjukkan korelasi negatif antara peningkatan ekspor pasir laut dan produksi perikanan tangkap.” tuturnya.
Selain itu, Bhima menganggap, penambangan pasir laut juga berdampak pada kerusakan habitat laut. Ia mengatakan, adanya kerusakan itu sulit untuk diperbaiki dalam jangka panjang.
“Indonesia akan kehilangan potensi blue carbon dan ekosistem ekonomi biru jika eksploitasi pasir laut dilanjutkan,” ucap Bhima.
Baca Juga:Jokowi: Tanggal Pelantikan 20 Oktober, Saat Itu Bapak Prabowo Milik Seluruh Rakyat Indonesia Bukan GerindraRapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada Prasangka
Menurutnya, jika kebijakan ekspor pasir laut terus berlanjut, Indonesia akan mengalami krisis karbon biru. Padahal, kata Bhima, pemerintah saat ini sedang menggagas pengoptimalan kredit karbon sebesar US$ 65 atau setara Rp 994,5 triliun.
“Padahal diperkirakan Indonesia memiliki potensi 17 persen karbon biru dari total seluruh dunia, setara 3.4 giga ton,” ujarnya.
Bhima menyarankan, agar pemerintah melakukan opsi pembangunan pesisir dan kelautan secara berkelanjutan. Ia menilai jika hal tersebut justru lebih menguntungkan dibandingkan praktik ekspor pasir laut yang merusak ekosistem ekonomi biru.