Benarkah Israel dan Iran: Rivalitas yang Berbahaya?

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Sepanjang 1985-1987, AS setuju untuk menjual senjata kepada Iran dengan Israel sebagai perantara. Dalam kesepakatan, AS juga meminta agar warga mereka yang ditawan oleh grup Islam militan sokongan Iran di Lebanon, Hezbollah, dibebaskan.

Yang membuat peristiwa ini semakin kontroversial adalah uang hasil penjualan senjata kelak dipakai Washington untuk membiayai gerakan gerilyawan Contra di Nikaragua, Amerika Latin, yang ketika itu dikuasai oleh pemerintahan marxis.

Singkat kata, meskipun rezim islamis Iran gencar menyuarakan kebencian kepada Israel dan mulai aktif menyokong grup-grup militan anti-Israel, kedua negara sebenarnya masih sempat menjalin kerja sama keamanan meskipun lingkupnya terbatas dan rahasia.

Baca Juga:Analisa Pengamat Transportasi: Kecelakaan Tol Japek KM58 Belum Tentu Penerapan ContraflowKoalisi Masyarakat Sipil Adukan Presiden Jokowi ke Ombudsman Terkait Dugaan Maladministrasi Pilpres 2024

Gareth Porter dalam studi berjudul “Israel’s Construction of Iran as an Existential Threat” di Journal of Palestine Studies tahun 2015 menjelaskan, sampai 1989, intelijen Israel masih belum menganggap Iran sebagai ancaman berarti.

Ancaman terbesar bagi Israel adalah gerakan perlawanan intifada Palestina, diikuti oleh Suriah, Irak, Libya, dan Mesir. Kepala intelijen Israel Mossad kala itu, Shabtai Shavit, menganggap Iran masih direpotkan dengan Irak. Iran juga dianggap belum punya kemampuan mumpuni untuk memproduksi rudal balistik maupun senjata nuklir yang bisa mengancam dalam waktu dekat.

Situasi baru berubah memasuki dekade 1990-an. Porter menuturkan, narasi tentang ancaman nuklir dan rudal balistik dari Iran serta ambisinya untuk menyebarluaskan paham Islam fundamentalis ke Timur Tengah pertama kali digaungkan oleh administrasi PM Yitzhak Rabin pada 1993. Semenjak itu, setiap perdana menteri Israel selalu menyinggung Iran sebagai ancaman eksistensial mereka.

Menurut Porter, dengan menampilkan Iran sebagai musuh utama atau penjahat, administrasi PM Rabin berharap proses negosiasi damai yang dilakukannya dengan Palestina dapat berjalan lebih lancar dan menuai lebih banyak dukungan dan popularitas dari publik Israel (Perjanjian Oslo dengan Palestine Liberation Organization yang dimediasi AS pada 1993 dan 1995).

Alasan lainnya sudah tentu untuk menciptakan musuh bersama dengan negara-negara Arab, sehingga ancaman yang selama ini Israel rasakan dari mereka perlahan dapat dikurangi.

Hal menarik lain dari relasi Iran-Israel pasca-revolusi adalah, alih-alih berkonfrontasi langsung—yang tentu saja berpotensi disorot komunitas internasional, Iran dan Israel memutuskan untuk berperang “diam-diam”. Perseteruan ini dilakukan baik di teritori musuh maupun di luar negeri. Situasi ini populer dengan istilah perang bayangan.

0 Komentar