”Informasi bahwa orang Indonesia kebal virus korona atau bahwa virus ini tidak bisa beredar di kawasan tropis tidak ada dasar ilmiahnya,” kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi, Amin Soebandrio yang ditemui di Jakarta, Sabtu (1/2/2020).
Kenapa sampai saat ini belum ada yang terkonfirmasi positif terinfeksi virus baru korona atau 2019-nCoV di Indonesia, menurut Amin, ini merupakan persoalan berbeda. ”Belum adanya kasus positif di Indonesia mengundang banyak tanda tanya,” katanya.
Semua negara yang memiliki intensitas kunjungan orang dari China, khususnya Wuhan, yang tinggi telah mengonfirmasi adanya infeksi virus ini. Namun, hingga kini belum ada konfirmasi mengenai adanya kasus infeksi 2019-nCoV di Indonesia.
Baca Juga:Jabar Perkuat Sinergi sebagai Provinsi Berbudaya Tangguh BencanaInikah Alasan Erdogan Serang Pasukan Bashar al-Assad?
Padahal, menurut data Business 1ntelligence Service (B1S) m1nd, Indonesia menyumbang 7 persen dari sekitar 1,4 juta penerbangan keluar dari Wuhan antara Desember 2018 dan November 2019, atau urutan keenam terbesar. Lima negara lain yang menjadi tujuan utama perjalanan dari Wuhan yaitu Thailand (33 persen), Jepang (12 persen), Malaysia (10 persen), Singapura (9 persen), dan Hong Kong (8 persen), telah mengonfirmasi ada kasus infeksi korona baru.
Kapasitas laboratorium
Dengan mengutip Amin, The Sydney Morning Herald pada 31 Januari 2020, misalnya, menulis bahwa tidak adanya kasus korona di Indonesia lebih karena ketidakmampuan laboratorium di Indonesia mendiagnosis virus ini.
”Sydney Morning Herald dan The Age dapat mengungkapkan laboratorium medis Indonesia tidak memiliki kit pengujian yang diperlukan untuk cepat mendeteksi coronavirus Wuhan, menurut salah satu ahli biologi molekuler terkemuka di negara itu, dan virus itu mungkin sudah ada di negara itu meski pemerintah mengklaim tidak ada,” tulis media Australia ini.
Amin mengakui, dia diwawancarai melalui telepon, tetapi pernyataannya disalahpahami sehingga menimbulkan tafsir berbeda. ”Saya berbicara dalam kapasitas Lembaga Eijkman, bukan Pemerintah Indonesia. Secara teknis, Eijkman juga sudah memiliki teknologi dan kapasitas mendeteksi virus korona ini. Kami juga sudah pernah melakukannya walaupun untuk korona yang berbeda,” tuturnya.
Sejak awal Januari lalu, Eijkman mendapatkan reagen pan-coronavirus yang bisa mendeteksi ada tidaknya virus korona ini. Jika positif, akan dilakukan pengurutan untuk mencocokkan apakah memang jenis 2019-nCoV. ”Sebelumnya, dengan mekanisme ini, butuh empat-lima hari kerja. Namun, sejak minggu ini, kami sudah mendatangkan reagen baru yang bisa mendeteksi dalam satu hari. Alat ini juga dipakai di negara-negara lain, seperti Singapura,” katanya.