Apa Itu Autopsi, Begini Syarat dan Prosedurnya

Apa Itu Autopsi, Begini Syarat dan Prosedurnya
Tim kuasa hukum keluarga Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat (Brigadir J) diwakili oleh Komarudin Simanjuntak dan Johnson Panjaitan tiba di Bareskrim, Senin (18/7) sekitar pukul 09.45 WIB. (Antara)
0 Komentar

KAPOLRI Jenderal Listyo Sigit Prabowo diminta setujui permohonan Keluarga Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat yang meminta ekshumasi dan autopsi ulang. Namun, autopsi ulang ini diminta dilakukan bukan oleh kedokteran forensik Polri.

Kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak meminta Kapolri membentuk tim khusus yang melibatkan kedokteran dari RSPAD, RS AL, RS AU, RSCM, dan rumah sakit swasta. Menurutnya, permohonan ini disampaikan lantaran pihak keluarga meragukan hasil autopsi awal terhadap Brigadir J yang dilakukan oleh kedokteran forensik Polri.

Apa Itu Autopsi

Menurut jurnal berjudul Fungsi Bedah Mayat Forensik Untuk Mencari Kebenaran Materiil Dalam Suatu Tindak Pidana, Autopsi Forensik merupakan salah satu cara untuk membuktikan kebenaran secara materiil atau bersifat fisik.

Baca Juga:Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J: Proses Autopsi Ulang Libatkan 3 Matra TNIDraft RKUHP Bisa Diakses Publik, Klik Tautan di Laman Ini

Beragam kasus kematian yang diakikbatkan karena pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, over dosis ataupun dari tindak pidana lain memerlukan tindak autopsi. Hal ini dilakukan demi mengetahui sebab kematian dari seseorang.

Tindak Sembarang Orang

Tidak sembarangan orang dapat melakukan autopsi, hanya dilaukan oleh tindakan dokter kompeten yang dapat membedah mayat korban. Prosesnya pun memerlukan permintaan surat Visum et Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian sekaligus surat persetujuan dari kelurga seseorang yang akan diautopsi.

Sementara jika seseorang yang akan diautopsi tidak teridentifikasi kejelasan identitasnya, seperti tidak diketahui asal-usul keluarganya. Maka, dokter forensik dapat langsung membedah mayat tersebut demi mendapat keterangan penyakit yang dialami.

Sedangkan berdasarkan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menentukan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti, yaitu pada Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Dakwa.

Ahli yang dimaksud adalah dokter spesialis dalam bidang kedokteran, salah satunya Ilmu kedokteran kehakiman mempunyai kepakaran. Tidak sekadar mengetahui penyebab korban terluka, namun dapat menentukan suatu tindakan pidana. Hal ini juga sesuai dengan Repertum (V.e.R) dari pihak kepolisian (penyidik) sesuai pasal 133 KUHAP berbunyi:

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya”

0 Komentar