Amankan Beban Pertamina, Jaga Distribusi BBM

Amankan Beban Pertamina, Jaga Distribusi BBM
Ilustrasi
0 Komentar

MESKI harga minyak mentah sudah melonjak sejak tahun lalu, hingga kini, harga BBM nonsubsidi seperti Pertalite dan Pertamax di SPBU Pertamina masih tetap. Padahal, di SPBU swasta seperti Shell, harga produk sejenis sudah lama naik. Tak heran, hal ini menjadi sorotan berbagai kalangan yang mengkhawatirkan tingginya beban Pertamina.

Kekhawatiran tersebut memang wajar, mengingat BUMN yang bertugas mendistribusikan BBM dari Sabang sampai Merauke ini harus tetap sehat, sehingga mampu menyediakan pasokan yang dibutuhkan masyarakat. Bayangkan, seandainya ada daerah yang pasokan BBM-nya habis beberapa jam saja, hal ini pasti menimbulkan keributan. Masyarakat akan resah, dan bisa muncul gangguan keamanan.

PT Pertamina (Persero) juga bertugas menjalankan program BBM Satu Harga, untuk upaya pemerataan dan membantu pembangunan di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Ini terutama di kawasan Indonesia bagian timur, yang biaya pengangkutan BBM-nya mahal, sehingga harus ‘disubsidi’ Pertamina.

Baca Juga:45 Kios di Pasar Komplek Garuda Tangerang Ludes TerbakarKemenhub Terbitkan Surat Edaran Soal Perjalanan Internasional

Sementara itu, beban BUMN migas tersebut jelas bertambah berat menyusul harga minyak mentah yang kian melesat. Harga minyak jenis Brent pada Senin (21/3/2022) malam tercatat mencapai US$ 114,74 per barel, melonjak 6,31%, akibat serangan terhadap fasilitas migas Arab Saudi dan masih berlanjutnya perang Rusia-Ukraina. Harga minyak ini sudah dua kali lipat lebih dari patokan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) sebesar US$ 63 per barel dalam APBN 2022.

Lonjakan harga minyak mentah yang luar biasa itu membuat Pertamina kini mengalami mismatch cashflow serius. Pasalnya, pembelian minyak harus dibayar tunai setiap hari, tidak boleh ngutang, baik yang dari impor maupun untuk minyak yang menjadi bagian pemerintah sebesar 85%. Sedangkan yang 15%-nya untuk perusahaan kontraktor.

Harga pembelian minyak mentah dari pemerintah ini juga mengikuti harga pasar, Mean of Platts Singapore (MOPS). Sementara dari konsumsi nasional sekitar 1,4 juta barel per hari, separuhnya masih harus diimpor.

Sementara itu, piutang Pertamina sekitar empat tahun belum dibayar pemerintah. Jika piutang ini tidak segera dibayar pemerintah, secara akuntansi, Pertamina bisa bangkrut. Piutang sudah menumpuk sekitar Rp 100 triliun.

Dengan pemerintah masih meminta BBM nonsubsidi jenis bensin yakni Pertalite dan Pertamax tidak dinaikkan, maka beban ‘subsidi’ yang mesti ditanggung Pertamina sangat besar. Meski nanti ada penggantian selisih untuk Pertalite yang kini difungsikan sebagai pengganti BBM khusus penugasan Premium — yang harganya dipatok pemerintah -– biaya pengadaannya tetap harus dibayar Pertamina sekarang.

0 Komentar