79 Tahun Indonesia Merdeka: Literasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Suasana Ruang Perpustakaan Kota Salatiga di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga, Jalan Adisucipto N
Suasana Ruang Perpustakaan Kota Salatiga di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga, Jalan Adisucipto No 7 Kota Salatiga. (Foto. Josua Gian A)
0 Komentar

BUNG Hatta pernah melontarkan kata-kata ampuh yang di kemudian hari menjadi salah satu kutipan unggulan dari penggambaran sosoknya. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Tidak hanya Bung Hatta yang secara khusus menempatkan pembacaan teks sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan, tokoh besar pergerakan Indonesia seperti Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini.

“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya

Suara tegas Tan Malaka yang dia prediksi akan lebih lantang menggema ketika ia sendiri sudah di dalam liang kuburpun terbukti benar, manakala catatan-catatan beserta buku karyanya kini dengan bebas dapat dibaca oleh semua kalangan setelah sebelumnya dilarang di era Orde Baru.

Mundur ke belakang lagi, saat peradaban termaju dunia masih berpusat di Mesopotamia dan tepi sungai Nil, di bawah kekuasaan para Firaun di Mesir Kuno, Francis Bacon yang seorang filsuf asal Inggris berujar: “Pengetahuan adalah kekuatan, siapapun pelakunya”. Fir’aun yang abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Pada saat berkuasa, Fir’aun memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sebanyak 20.000 buku.

Bung Karno sendiri, tentu tidak terlahir dengan segudang pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa pemimpin dan kemampuan berpidato yang berapi-api. Itu jelas mustahil tanpa hadirnya buku dan kegemaranya akan membaca dan menulis. Gurunya, Tjokroaminoto-lah yang memperkenalkan buku ke Soekarno muda.

Tentu masih banyak tokoh-tokoh nasional progresif lain yang memiliki kegemaran akan membaca dan menulis. Dari tokoh di atas, kesemuanya juga telah banyak menelurkan buku mereka sendiri. Di antaranya Madilog milik Tan Malaka, Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Alam Pikiran Yunani oleh Hatta dan masih banyak lagi yang lainnya.

Lalu, bagaimana keadaan masyarakat Indonesia saat ini tentang kepedulian dan minatnya akan membaca buku dan menulis? Lembaga survei internasional yang bekerja sama dengan Kemendikbud memiliki data untuk menjawabnya.

0 Komentar