KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen (Purn) Eddy Hartono mengungkapkan bahwa anak-anak Indonesia semakin rentan terpapar paham radikalisme dan terorisme melalui ruang digital. Sepanjang tahun 2025, BNPT mencatat 112 anak Indonesia mengalami radikalisasi melalui media sosial dan permainan daring (gim online).
“Sepanjang tahun 2025, Densus 88 sudah menangkap beberapa jaringan terorisme maupun simpatisan asal Daulah yang berkembang kepada ISIS dan juga 112 anak yang terradikalisasi di sosial media maupun gim online,” ucap Kepala BNPT Eddy Hartono di Jakarta, Selasa (30/12).
Eddy melaporkan, berdasarkan data dari Satgas Kontraradikalisasi yang terdiri dari BNPT, Bais TNI, Kementerian KomDigi, dan BSSN, dan sejumlah lembaga terkait, mencatat ada 21.199 konten bermuatan intoleransi radikalisme dan terorisme yang tersebar di berbagai platform sosial media sepanjang tahun 2025.
Baca Juga:Tokoh Utama Gerakan GenZ yang Gulingkan Sheikh Hasina, Sharif Osman Hadi Jadi Korban Pembunuhan BerencanaPemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 Miliar
“Meta itu Facebook dan Instagram sebanyak 14.314 konten, kemudian TikTok sebanyak 1.367 konten, dan X sebesar 1.220 konten,” kata Eddy.
Eddy menyebut hal ini sangat berbahaya sebab proses radikalisasi disebut menjadi lebih efektif dan efisien melalui platform sosial media, sebab waktu yang dibutuhkan untuk memaparkan paham radikalisme menjadi lebih singkat.
“Dibandingkan dulu ketika proses radikalisasi secara konvensional itu membutuhkan waktu 2-5 tahun. Sekarang dengan media online atau ruang digital itu hanya butuh waktu 3-6 bulan,” tutur Eddy.
Mantan Kepala Densus 88 itu menjelaskan, proses radikalisasi pada anak-anak umumnya diawali dari interaksi berulang dengan konten ekstrem, seperti like, share, dan durasi menonton (watch time). Aktivitas tersebut membuat algoritmaplatform terus menampilkan konten serupa hingga korban mulai menerima dan mempercayainya.
Ketika ketertarikan semakin kuat dan korban melakukan baiat secara mandiri, mereka kemudian diarahkan masuk ke grup tertutup, seperti WhatsApp atau Instagram. Di ruang inilah doktrin paham radikalisme dan terorisme ditanamkan secara lebih intensif.
“Misalkan di Youtube, nanti semakin dia sering mengakses, itu akan terpolakan. Istilah psikologis, digital grooming. Tahap memastikan atau menanam kepercayaan, ketika sudah dapat groomingnya, baru ditarik isolasi masuk ke dalam grup sosial media, baik itu Instagram maupun WA. Nah, di situlah baru dimainkan namanya normalisasi perilaku,” ungkap Eddy.
