“Langkah-langkah ini telah membuat komunitas internasional waspada. China akan bekerja sama dengan semua negara pencinta perdamaian untuk menolak setiap langkah berbahaya yang dirancang untuk menghidupkan kembali militerisme atau menumbuhkan neo-militerisme, dan bersama-sama mempertahankan kemenangan Perang Dunia II,” ujar Lin Jian.
Selain rencana untuk meningkatkan anggaran pertahanan, Kabinet Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada Selasa (23/12) mengadopsi strategi keamanan siber baru untuk lima tahun ke depan dengan fokus khusus pada langkah-langkah pertahanan siber aktif preventif untuk mengatasi peningkatan risiko serangan.
Strategi utama dari pendekatan keamanan siber Jepang yang baru adalah konsep “pertahanan dan pencegahan yang berpusat pada pemerintah”. Arah kebijakan ini mengikuti pengesahan undang-undang pada awal tahun ini yang memperkenalkan pertahanan siber aktif, yang memungkinkan pihak berwenang untuk memantau komunikasi di dunia maya selama masa damai untuk mencegah serangan siber sebelum menyebabkan kerusakan.
Baca Juga:Tokoh Utama Gerakan GenZ yang Gulingkan Sheikh Hasina, Sharif Osman Hadi Jadi Korban Pembunuhan BerencanaPemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 Miliar
Pada Mei 2025, pemerintah Jepang juga mengesahkan undang-undang yang memperkenalkan konsep pertahanan siber aktif, yang memungkinkan polisi dan Pasukan Bela Diri Jepang mengakses dan menetralkan server sumber serangan untuk melawan ancaman.
Pertama kali diadopsi pada 2013, strategi keamanan siber telah diperbarui setiap beberapa tahun. Revisi pada 2021, untuk pertama kalinya menyebutkan China, Rusia, dan Korea Utara sebagai ancaman serangan siber dengan mengatakan bahwa dunia maya telah menjadi “ranah persaingan antarnegara yang mencerminkan ketegangan geopolitik.”
Strategi keamanan siber berangkat dari kekhawatiran Badan Keamanan Jepang, yang telah mengamati adanya peningkatan serangan ransomware, penipuan keuangan, dan pelanggaran data secara terus-menerus.
