Media Timur Tengah Soroti Sikap Dingin Jakarta Soal Bantuan Bencana dari Negara Arab

Warga membawa barang-barang ke tempat yang aman setelah hujan lebat membanjiri lingkungan di Kecamatan Medankr
Warga membawa barang-barang ke tempat yang aman setelah hujan lebat membanjiri lingkungan di Kecamatan Medankrio, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia pada 27 November 2025. [Kiki Cahyadi – Agensi Anadolu]
0 Komentar

BENCANA banjir bandang yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kini bukan sekadar masalah tanggap darurat, melainkan mulai merembet ke ranah diplomasi. Di tengah angka kematian yang menembus 1.000 jiwa dan kerugian ekonomi mencapai Rp51,6 triliun, sebuah tanda tanya besar muncul: mengapa Pemerintah Indonesia tampak ‘jual mahal’ terhadap bantuan dari negara-negara Arab?

Media Timur Tengah, termasuk Middle East Monitor, mulai menyoroti sikap dingin Jakarta. Padahal, tawaran bantuan mengalir deras dari jantung Timur Tengah. Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA), Abdullah Salem Al Dhaheri, secara terbuka menyatakan kesiapan negaranya mengirim tim medis dan pasokan logistik.

Tak hanya itu, ‘pemain kunci’ sekelas Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) hingga Raja Salman bin Abdulaziz pun telah mengontak Presiden Prabowo Subianto untuk menyampaikan simpati mendalam.

Baca Juga:Pemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 MiliarKetika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah Menjawabnya

Namun, jawaban dari Istana Negara terkesan sangat berhati-hati, jika tidak mau disebut menolak. Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa bantuan internasional ‘masih belum diperlukan’. Senada dengan itu, Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemerintah memiliki ‘pertimbangan sendiri’ dalam menyikapi uluran tangan tersebut.

Solidaritas yang Terbentur Birokrasi?

Gelombang simpati dari Qatar, Oman, Iran, hingga Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sebenarnya lahir dari kedekatan historis dan investasi masif negara-negara Teluk di Tanah Air. Ironisnya, saat 770 ribu warga mengungsi dan wilayah Sumatera terisolasi akibat runtuhnya jaringan komunikasi, pemerintah pusat justru terlihat membatasi pintu bantuan.

Salah satu insiden yang memicu polemik adalah pengembalian 30 ton beras bantuan dari UEA oleh Pemerintah Kota Medan. Langkah ini sempat memicu kegaduhan publik sebelum akhirnya ditengahi oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Tito menjelaskan bahwa puluhan ton beras tersebut kini dialihkan kepada Muhammadiyah. “Atas kesepakatan, bantuan diserahkan kepada Muhammadiyah Medical Center. Nanti Muhammadiyah yang akan membagikan kepada masyarakat melalui sentra kemanusiaan mereka di Medan,” ujar Tito di Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Jumat (19/12/2025).

Antara Gengsi dan Kemanusiaan

Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah bertahan dengan argumen ‘mampu sendiri’ di saat infrastruktur jalan, jembatan, dan pemukiman hancur lebur? Data lapangan menunjukkan skala kerusakan yang sangat masif, setara dengan US$3,1 miliar.

0 Komentar