PENEMBAKAN massal yang memilukan di Bondi Beach, Sydney, pada malam perayaan Hanukkah, 14 Desember 2025, telah menjadi salah satu babak tergelap dalam sejarah Australia modern, merenggut 15 nyawa tak berdosa.
Otoritas Australia dengan cepat mengidentifikasi pelaku sebagai Sajid Akram (50 tahun) dan putranya, Naveed Akram (24 tahun), dan dengan tegas menyatakan insiden tersebut sebagai serangan teroris dengan motif antisemitisme yang jelas menargetkan komunitas Yahudi.
Pengungkapan latar belakang ayah dan anak ini, yang diwarnai jejak radikalisasi dan kepemilikan senjata yang sah, tidak hanya menjelaskan kekejaman serangan tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai celah dalam sistem pengawasan keamanan domestik Australia.
Baca Juga:Pemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 MiliarKetika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah Menjawabnya
Sajid Akram, sang ayah, adalah imigran yang berasal dari Pakistan. Sajid memperoleh visa pasangannya pada tahun 2001. Naveed Akram, putranya, kemungkinan besar lahir di Pakistan dan kemudian pindah ke Australia bersama ayahnya, atau lahir di Australia tak lama setelah kedatangan ayahnya, namun warisan keluarga dan latar belakang budaya mereka terhubung dengan Pakistan.
Sajid Akram, sang ayah yang tewas di lokasi setelah baku tembak dengan polisi, memegang profil yang kontradiktif. Di satu sisi, ia adalah seorang pemilik toko buah di Sydney Barat. Wilayah ini memang paling banyak dihuni imigran. Meski begitu, kehidupan bisnisnya tidak pernah menunjukkan adanya indikasi aktivitas ekstremis, yang memungkinkan ia lolos dari pengawasan yang ketat selama bertahun-tahun.
Namun, di sisi lain, Sajid adalah pemegang lisensi senjata api yang sah selama satu dekade terakhir, memiliki enam senjata api terdaftar—senjata yang kemudian disita dan diduga digunakan dalam serangan tersebut. Detail paling mencolok adalah statusnya sebagai pemegang lisensi senjata kelas H (untuk senjata api tangan) atau kelas D (untuk senjata tertentu) yang sah di New South Wales selama 10 tahun.
Temuan kunci investigasi, termasuk ditemukannya bendera ISIS dan alat peledak rakitan di kendaraan mereka, mengindikasikan bahwa ia dan Naveed telah menyatakan sumpah setia kepada kelompok teroris tersebut.
Kematian Sajid mengakhiri perannya dalam aksi ini, namun ironi kepemilikan senjatanya yang legal—di negara dengan salah satu undang-undang senjata paling ketat pasca-Port Arthur—menjadi sorotan tajam bagi keamanan nasional.
