MUSTASYAR PBNU, Ma’ruf Amin menilai keputusan Rapat Pleno Syuriyah PBNU yang menetapkan Wakil Ketua Umum PBNU, Kiai Zulfa Mustofa, sebagai Pejabat (Pj) Ketua Umum PBNU, tidak sah secara konstitusi organisasi.
Sebelumnya, Rapat Pleno Syuriyah yang digelar pada Selasa (9/12/2025) malam menetapkan Kiai Zulfa untuk menggantikan sementara Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya di pucuk pimpinan Tanfidziyah.
Ma’ruf menilai langkah tersebut tidak sesuai aturan dasar. Menurutnya, jika terjadi dugaan pelanggaran berat yang melibatkan Ketua Umum maupun Rais Aam sebagai mandataris muktamar, maka penyelesaiannya harus melalui forum tertinggi, yakni Muktamar Luar Biasa.
Baca Juga:Pemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 MiliarKetika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah Menjawabnya
“Karena kedua orang ini (Rais Aam dan ketum PBNU) mandataris muktamar, maka menurut konstitusi adalah muktamar luar biasa. Artinya tidak bisa forum lain Jadi kalau yang tidak itu, itu inkonstitusional,” kata Ma’ruf Amin dalam keterangan resmi, Kamis (11/12/2025).
“Kalau Rais Aam ataupun Ketua Umum dianggap melakukan pelanggaran berat, maka dilakukan muktamar luar biasa. Karena yang bisa mengadili kedua orang ini adalah muktamar luar biasa,” tambahnya.
Ma’ruf pun menekankan bahwa kewenangan Syuriyah, termasuk Rais Aam, dibatasi oleh konstitusi organisasi. Dia mengatakan wewenang tertinggi dalam kepemimpinan Syuriyah bersifat irsyadiyah dan taujihiyah, yakni memberi arahan, petunjuk, serta pengawasan. Namun, kewenangan itu tidak mencakup pemakzulan.
“Walaupun Rais Aam adalah pucuk tertinggi, kewenangannya dibatasi konstitusi. Kewenangan itu sebatas mengarahkan dan mengawasi, tapi tidak sampai kepada pemakzulan. Kalau sudah menyangkut pemakzulan, forumnya adalah muktamar luar biasa,” katanya.
Dia juga menilai bahwa keputusan pleno Syuriyah yang menunjuk Zulfa sebagai Pj Ketua Umum itu bukan hanya tidak sesuai aturan, tetapi juga bertentangan dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU) yang selalu mengedepankan musyawarah para masyaikh.
Kemudian, dia pun mengingatkan bahwa dalam tradisi NU, persoalan besar yang menyangkut konstitusi tidak hanya menjadi urusan pengurus struktural. Tokoh-tokoh besar, para masyaikh, hingga ulama kharismatik biasanya selalu dimintai pandangan sebelum keputusan penting diambil.
