BENCANA banjir dan longsor Sumatera menandakan dua hal: dampak krisis iklim yang tak bisa lagi dihindari dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi menahun. Bencana yang luas terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu seharusnya menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total.
Dalam siaran pers 2 Desember 2025, Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa hujan ekstrem akan terus mengintai sebagai dampak dari krisis iklim. Dan sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana, pemerintah tak seharusnya memandang dampak krisis iklim sekadar angka, tapi juga menyadarinya bisa mengancam nyawa.
Karenanya, Greenpeace mendesak harus ada tindakan dan target iklim yang ambisius. Pemerintah, disebutkannya, tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas.
Baca Juga:Pemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 MiliarKetika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah Menjawabnya
“Tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional,” kata Greenpeace menyerukan sambil juga menambahkan, “Sekarang waktu yang tepat untuk memperbaiki arah kebijakan nasional agar tidak lagi berpihak pada segelintir orang, tapi kelayakan bagi semua orang.”
Faktor kedua yang memicu besarnya dampak banjir Sumatera yakni perusakan hutan dan alih fungsi lahan, termasuk di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS). Analisis Greenpeace, dengan merujuk data Kementerian Kehutanan, menemukan kalau dalam kurun 1990-2024, banyak hutan alam di Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.
Secara keseluruhan, mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis–dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. “Kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare.”
Salah satu DAS yang rusak parah ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. “Salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara ini juga dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan–termasuk PLTA Batang Toru–yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orang utan Tapanuli.”
