“Industri raksasa ini boros dan rakus terhadap lahan. Izin-izin itu diobral, mulai dari Presiden, kementerian, sampai gubernur dan bupati,” tegasnya.
Namun, ekspansi industri tersebut, menurut Buyung, tidak pernah benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Ia menilai keberadaan proyek ekstraktif sering kali justru menambah kerentanan sosial dan ekonomi.
“Selama ini apakah berdampak dengan kesejahteraan? Yang ada malah masyarakat di ring sawit, tambang, atau gas bumi itu sengsara. Masalah bencana setelah ini, ya bukan tidak mungkin,” ucapnya.
Baca Juga:Pemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 MiliarKetika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah Menjawabnya
Buyung menegaskan bahwa konsep kesejahteraan dari industri ekstraktif hanyalah ilusi. Alih-alih meningkatkan taraf hidup, ia justru melihat bertambahnya kantong-kantong kemiskinan di wilayah tersebut.
“Sejak kapan wilayah sawit, HTI, tambang itu sejahtera? Yang ada konflik, dan yang terjadi justru didukung pemerintah dan aparat,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kutai Kartanegara, Slamet Hadi Raharjo, menjelaskan bahwa kewenangan pemerintah kabupaten dalam urusan kehutanan semakin menyempit sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Regulasi tersebut mengalihkan sebagian besar urusan kehutanan ke pemerintah provinsi dan pusat, sehingga ruang gerak daerah menjadi lebih terbatas.
Situasi itu membuat DLHK Kukar hanya dapat mengelola sebagian kecil kawasan hutan yang masih berada dalam kewenangan kabupaten. Salah satu fokus utama yang kini menjadi perhatian adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Muara Kaman seluas sekitar 2.900 hektare, yang baru ditetapkan pemerintah pusat pada 2024. Kawasan ini menjadi satu-satunya area kehutanan yang sepenuhnya dapat dikelola oleh pemerintah kabupaten.
“Pengelolaan Tahura akan diarahkan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan mendorong kegiatan pemanfaatan lingkungan yang tidak merusak kawasan,” ujar Slamet.
Selain Tahura, DLHK Kukar juga terus menjalankan program rehabilitasi lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Delta Mahakam, tepatnya di Desa Sepatin, Kecamatan Anggana. Kawasan seluas kurang lebih 23 hektare itu merupakan area yang sebelumnya digunakan melalui skema pinjam-pakai dan kini menjadi bagian penting dari upaya pemulihan lingkungan.
“Rehabilitasi di Delta Mahakam tetap berjalan sebagai bentuk pemulihan kawasan, sehingga kondisi lingkungan dapat pulih secara bertahap,” jelasnya.
