Dr Samah Sabawi dan Malam Puisi Cirebon-Gaza
Sebagaimana festival-festival BWCF sebelumnya selain acara utama simposium dan lecture-lecture, maka terdapat progam berkaitan dengan sastra dan seni pertunjukan. Di Cirebon, BWCF akan menghadirkan para penyair terkemuka Indonesia yang sering mengolah tema-tema spiritual Islam dalam sajak-sajaknya antara lain Zawawi Imron, Acep Zamzam Noer, Hikmat Gumelar dan Nenden Lilis untuk membacakan puisinya dalam Malam Puisi untuk Palestina.
Diketahui Hikmat Gumelar, penyair asal Majalengka baru saja mendapat penghargaan bergengsi Palestine World Prize for Literature. Dalam malam puisi tersebut, BWCF akan mengundang seorang penyair diaspora Palestina. Penyair perempuan dan penulis naskah drama keturunan Palestina Dr Samah Sabawi bersedia hadir untuk membacakan sajak-sajaknya.
Kehadiran Dr. Samah Sabawi menjadi sorotan istimewa dalam BWCF tahun ini. Lahir di Gaza dan besar di pengasingan, Samah kini tinggal di Melbourne dan dikenal luas sebagai penyair, dramawan, dan aktivis perdamaian. Karyanya melintasi batas geografi dan bahasa, menyuarakan luka, cinta, dan keteguhan manusia Palestina dalam menghadapi penindasan.
Baca Juga:Pemprov Jawa Barat Renovasi Gerbang Gedung Sate Berbentuk Candi Anggaran Capai Rp3,9 MiliarKetika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah Menjawabnya
Samah adalah penulis naskah drama terkenal seperti Tales of a City by the Sea, Them, dan I Remember My Name karya yang telah dipentaskan di berbagai negara dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Buku terbarunya, Cactus Pear for My Beloved (Penguin Australia, 2024), menelusuri perjalanan keluarganya selama satu abad, masuk dalam daftar pendek Stella Prize 2025 serta Douglas Stewart Prize di bawah NSW Premier’s Literary Awards.
Sejumlah penghargaan bergengsi lain yang pernah diterima Samah antara lain Australian Writers’ Guild Award (2021) dan Green Room Award (2020), serta dikenal sebagai salah satu suara perempuan Palestina yang paling berpengaruh di panggung sastra dunia. Kehadiran Samah Sabawi di BWCF 2025 memiliki makna simbolik yang kuat: ia membawa suara perlawanan dan spiritualitas ke dalam ruang budaya Indonesia, menjembatani pengalaman Palestina dan Islam Nusantara dalam satu kesadaran kemanusiaan.
Di tengah dunia yang retak oleh perang dan krisis, puisinya mengingatkan kita bahwa ziarah terbesar manusia adalah mencari kedamaian dalam hati dan dunia.
