Oman Fathurahman: Kajian Nisan Tua Nusantara dan Manuskrip Syattariyah Bagi Pemetaan Warisan Intelektual

Prof Dr Oman Fathurahman
Prof Dr Oman Fathurahman (IST)
0 Komentar

Dalam suasana yang semakin intim, panggung kemudian dihidupkan oleh Tari Topeng Kelana yang dibawakan Tomi Uli dari Sanggar Tari Sekarpandan Kacirebonan. Gerakannya memadukan energi dan keheningan, seakan menjadi jembatan antara rupa seni dan ruh kebudayaan yang dipertemukan malam itu.

Sesi selanjutnya menandai peluncuran buku Katalog Atribut Nisan Islam Aceh Volume III. Hadir sebagai pembicara, I Made Dharma Suteja SS MSi, serta Dr. Ghilman Assilmi MHum, dan dimoderatori oleh Irsyad Leihitu MHum. Diskusi mengalir dari metode dokumentasi nisan, jaringan peradaban maritim, hingga bagaimana seni batu nisan menjadi rekam jejak identitas Islam Nusantara dari masa ke masa.

Kurator BWCF, Seno Joko Suyono, menegaskan bahwa nisan-nisan Islam di Indonesia adalah pintu untuk memahami perjalanan spiritual dan budaya masyarakat. “Nisan bukan hanya penanda makam,” ujarnya.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Ia menambahkan bahwa gaya nisan dari Kesultanan Aceh masa Iskandar Muda bahkan menyebar hingga Asia Tenggara, menjadi bukti jejaring maritim yang dahulu begitu kuat. “Menyimpan simbol-simbol religius, nilai filosofis, serta ornamen estetika yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan,” ujarnya.

Seno juga memaparkan alasan dipilihnya Cirebon sebagai tuan rumah. Dengan warisan arkeologi Islam yang melimpah, keraton-keratonnya, serta manuskrip Syattariyah yang hidup di pesantren maupun lingkungan keraton, Cirebon merupakan simpul penting dalam sejarah politik dan spiritual Islam abad ke-15 dan 16.

“Cirebon adalah akar bagi lahirnya kesultanan-kesultanan Islam di Jawa,” katanya.

Puncak malam pembukaan hadir lewat Pidato Kebudayaan Dr. Helene Njoto, sejarawan Prancis–Indonesia, yang memberikan penghormatan kepada Uka Tjandrasasmita melalui telaahnya atas situs Sendang Duwur. Ia membacakan kembali bab-bab sejarah yang tersimpan pada mimbar kayu, batu nisan, gapura, dan ukiran-ukiran yang pernah disentuh Uka dalam penelitiannya.

Dari awal hingga akhir, malam itu menghadirkan bukan hanya sebuah pembukaan festival, tetapi sebuah perjalanan spiritual dan intelektual. Seperti air laut yang terus kembali ke pantai Cirebon, jejak-jejak masa lalu menemukan jalannya pulang. BWCF ke-14 membuka ruang untuk mengingat, merawat, dan menuliskan kembali warisan Nusantara—agar tidak kehilangan arah dalam arus zaman yang terus berubah.

0 Komentar