Oman Fathurahman: Kajian Nisan Tua Nusantara dan Manuskrip Syattariyah Bagi Pemetaan Warisan Intelektual

Prof Dr Oman Fathurahman
Prof Dr Oman Fathurahman (IST)
0 Komentar

SUASNA malam di Keraton Kacirebonan terasa seperti membuka kitab lama yang kembali bernapas. Angin yang menyentuh halaman keraton seolah membawa pulang jejak-jejak ingatan dari berbagai penjuru Nusantara.

Dari Sanggar Sekar Pandan, para penari cucuk lampah melangkah perlahan—seperti para pembawa kabar yang mengantar para tamu menuju pintu festival, mengantar pada suasana sakral di pembukaan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-14, Kamis (20/11/2025).

Di bawah cahaya lampu yang temaram, Sultan Kacirebonan, PR Abdul Gani Natadiningrat SE memberikan sambutan hangat. Kata-katanya mengalir lembut, mengingatkan bahwa Cirebon tak hanya sekadar ruang geografis, tetapi juga simpul sejarah yang hidup di antara tiga keraton, manuskrip kuno, dan tradisi spiritual yang tak pernah padam.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Kehadiran perwakilan pemerintah Kota Cirebon, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya, mempertegas bahwa festival ini dipayungi semangat bersama untuk menjaga warisan budaya kota udang ini.

Tahun ini, BWCF bekerja sama dengan Majelis Seni dan Tradisi Cirebon (Mesti), Perhimpunan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) yang didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. Tema yang diangkat yakni “Estetika Nisan-nisan Islam Nusantara dan Dunia Ketuhanan Tarekat Syattariyah di Cirebon” menggugah ingatan kolektif tentang persilangan sejarah, seni, dan spiritualitas yang membentuk wajah kebudayaan kita.

Prof Dr Oman Fathurahman, selaku penasehat BWCF, menegaskan pentingnya kajian nisan tua Nusantara serta manuskrip Syattariyah bagi pemetaan warisan intelektual.

“Kepercayaan ilahi dirajut dan dibingkai. Jejaring Syattariyah menghubungkan memori kolektif yang terputus, juga memberi petunjuk jejak peradaban yang terhapus.” Ucapannya bergema seperti doa yang dipanjatkan dari masa silam menuju masa kini.

Ia melanjutkan, mengingatkan bahwa manuskrip dan batu nisan yang berserak di berbagai wilayah bukan sekadar benda warisan, tetapi penanda bagi kita untuk kembali menapaki jalur yang dulu terhubung begitu kuat.

“Manuskrip dan batu nisan melimpah berserak; keduanya petunjuk untuk menapaki jejak, menghidupkan pengetahuan, dan menggali pesan-pesan ketuhanan. BWCF 2025 membangkitkan ingatan bahwa Cirebon, Aceh, Minangkabau, Jawa, dan negeri-negeri semenanjung pernah saling terhubung. Mari kita jaga bersama,” ujarnya.

0 Komentar