DIREKTUR Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai demokrasi Indonesia telah merosot ke titik yang mengkhawatirkan. Mengutip data V-Dem Institute (Varieties of Democracy),ia menyebut Indonesia untuk pertama kalinya keluar dari kategori demokrasi elektoral dan masuk ke jajaran otokrasi elektoral pada 2024.
V-Dem Institute (Varieties of Democracy) adalah lembaga indeks demokrasi yang basis datanya mencakup hingga abad 17.
“Masih punya pemilu, tapi sudah otoriter. Ini yang menurut saya harus mulai disadari,” ujar Usman dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) dan Amnesty International di Jakarta Pusat, Kamis, 14 Agustus 2025.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Menurutnya, ciri otokrasi setidaknya meliputi tiga hal, yakni penyempitan yang mengarah ke ketiadaan ruang sipil untuk protes dan kritik—kalaupun ada, berhadapan dengan represi—, kemudian nyaris tidak ada oposisi di parlemen, dan lemahnya integritas pemilu. Namun, ia menilai kondisi saat ini bukan sekadar otokrasi, melainkan mulai menunjukkan gejala fasisme.
Ia memaparkan, fasisme tak hanya ditandai dengan kepemimpinan pemerintahan yang bergaya militer atau sentralistik, tapi juga dengan rezimentasi ideologis. Hal demikian, kata dia, tecermin dari beberapa hal, seperti penulisan ulang sejarah untuk mengagungkan ras bangsa sendiri dan merendahkan asing, peleburan organisasi masyarakat sipil ke dalam struktur negara, serta pengkultusan individu.
Usman mencontohkan, pemerintah bahkan berupaya menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, meski ia identik dengan rezim otoriter Orde Baru. “Soeharto jelas representasi dari kediktatoran dan otokrasi di masa lalu. Dari kekuasaan otoriter, justru ingin dikemas ulang sebagai pahlawan nasional atas nama ideologi Orde Baru, pembangunanisme dan antikomunisme,” ucapnya.
Fenomena ini, kata Usman, mengingatkan pada paradigma negara integralistik ala Orde Baru yang menganggap negara dan masyarakat sebagai satu kesatuan, sehingga meniadakan oposisi dan mengesampingkan hak bersuara individu demi keharmonisan kolektif.
“Ini fenomena kembalinya negara integralistik yang selalu mengutamakan keamanan nasional. Papua harus menjadi bagian Indonesia, tidak penting orangnya tertindas atau ditangkap. Sama halnya dengan Timor Timur dan Aceh,” ujarnya.
Usman juga mengkritik sikap organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang menurutnya semakin dilebur ke dalam negara, termasuk dengan masuknya tokoh-tokoh mereka ke pemerintahan dan dunia bisnis strategis seperti tambang.
