ZOHRAN Mamdani resmi terpilih sebagai Wali Kota New York, menandai kebangkitan baru bagi gerakan progresif di Amerika Serikat. Kemenangan politisi berusia 34 tahun ini mengakhiri perjalanan luar biasa dari seorang anggota dewan lokal menjadi pemimpin kota metropolitan terbesar di negeri itu.
Sejak kemenangan mengejutkannya dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat pada Juni lalu. Wajah Mamdani yang berjanggut dan selalu tersenyum kerap muncul di televisi dan pin dukungan para simpatisannya.
Mamdani lahir di Uganda dari keluarga keturunan India dan pindah ke Amerika Serikat pada usia tujuh tahun. Ia menjadi warga negara AS pada 2018. Putra dari sutradara ternama Mira Nair (“Monsoon Wedding”, “Mississippi Masala”) dan akademisi Mahmood Mamdani ini sempat dijuluki sebagian pihak sebagai “nepo baby” karena latar keluarganya yang terkenal.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Setelah menempuh pendidikan di Bronx High School of Science dan Bowdoin College di Maine, Mamdani sempat menekuni dunia musik rap dengan nama panggung “Young Cardamom” pada 2015. Namun, kariernya di industri musik tidak berlangsung lama. Ia kemudian beralih ke dunia politik setelah terinspirasi oleh seorang rapper yang mendukung kandidat dewan kota.
Langkah awalnya dimulai sebagai konselor pencegahan penyitaan rumah, membantu warga yang terancam kehilangan tempat tinggal. Pada 2018, ia terpilih menjadi anggota Majelis Negara Bagian New York dari wilayah Queens, kawasan dengan populasi besar dari kalangan pekerja dan imigran.
Politisi yang menyebut dirinya sosialis ini telah terpilih kembali tiga kali dan dikenal karena sikapnya yang terbuka terhadap berbagai komunitas. Ia aktif memperjuangkan kebijakan agar New York menjadi kota yang terjangkau bagi seluruh warganya, termasuk pengendalian sewa, layanan penitipan anak dan transportasi bus gratis, serta toko bahan pokok yang dikelola pemerintah kota.
Mamdani juga dikenal sebagai pendukung lama perjuangan rakyat Palestina. Pernyataannya yang menyebut Israel sebagai “rezim apartheid” dan perang di Gaza sebagai “genosida” sempat menuai kritik dari sebagian komunitas Yahudi. Meski demikian, ia juga secara terbuka menentang antisemitisme dan Islamofobia yang dialaminya.
