Begitu juga dengan kasus saat Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengkritik penumpukan kas pemerintah daerah (Pemda) di perbankan yang mencapai Rp 233,97 triliun per September 2025. Padahal saat ini sisa dana Pemda yang masih mengendap di perbankan sudah turun hingga Rp 18 triliun.
Sama dengan dari Bapak Menkeu menyampaikan Rp 233 triliun dari informasi dari BI, bank sentral, itu timingnya Agustus-September. Sementara yang di data yang di Kemendagri Rp 215 triliun karena sudah terpakai oleh daerah-daerah ini,” jelasnya.
“Jangan salah ya, jumlah daerah itu kan jumlahnya 512. Ada 38 Provinsi, 98 Kota, dan 416 Kabupaten. Jadi, Rp 18 triliun dalam waktu satu bulan berbeda itu sangat mungkin sekali,” sambungnya.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Selain itu, Tito juga menemukan adanya kesalahan input oleh bank pembangunan daerah (BPD). Kesalahan input data inilah yang kemudian membuat laporan dana Pemda yang tersimpan di bank jadi berantakan. Kasus serupa juga banyak ditemukan di beberapa daerah lainnya.
“Misalnya di Kota Banjarbaru. di situ disebut pada waktu di-expose Rp 5,1 triliun. Nah, setelah kita telusuri di Bank Indonesia masuk Rp 5,1 triliun di daerahnya. Kita cek, nggak segitu mereka, anggarannya saja Rp 1,6 triliun APBD, sisa Rp 800 miliar, kok bisa? Rupanya peng-inputnya, yaitu BPD, Bank Pembangunan Daerah Kalses meng-input Rp 5,1 itu simpanannya provinsi, dimasukkan sebagai simpanannya, dilaporkan sebagai simpanannya Kota Banjar Baru. Otomatis di BI tercatat punya Kota Banjar Baru,” paparnya.
