KEPALA Pusat Studi Lingkungan Hidup (PLSH) UGM, Prof. Dr. Djati Mardiatno, menjelaskan, selain karena kombinasi dari gerak semu matahari dan angin timuran, efek lokal juga memengaruhi adanya cuaca panas yaitu heat island effect. Daerah-daerah yang padat bangunan akan memiliki cuaca yang lebih panas, seperti daerah perkotaan.
“Adanya perubahan lahan, bangunan-bangunan semakin banyak sehingga menyebabkan panas yang lebih ekstrem,” kata Djati, Jumat (24/10).
Dikatakan cuaca panas yang terjadi sebenarnya merupakan fenomena periodik. Menurut dia setiap tahun pasti akan datang, namun beberapa waktu terakhir panas yang dirasakan menjadi lebih ekstrem daripada biasanya. Karena cuaca panas yang berlebih membuat masyarakat memilih menggunakan pendingin ruangan seperti Air Conditioner (AC) dan kipas angin ketika di dalam ruangan. Namun, penggunaan AC selain membantu untuk meredakan panas, namun juga mengeluarkan udara panas.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
“Karena banyak yang menggunakan AC jadi menambah udara panas,” ucapnya.
Ia menyebutkan permasalahan sekarang ini, meski sudah memasuki musim hujan tetapi masih terasa panas. Fenomena ini, ujarnya, mengacu pada radiasi dari matahari kemudian ke bumi dan memantul. Apabila ada awan, panas yang dipantulkan dari bumi sebagian akan tertahan dan balik lagi ke bumi, oleh sebab itu akan terasa lebih panas.
Djati menambahkan, untuk mengurangi efek panas agar tidak terlalu ekstrem memerlukan waktu yang lama. Salah satu caranya dengan memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH), menambah penanaman pohon-pohon di lingkungan sekitar. “Adanya tutupan-tutupan pohon akan membantu mengurangi rasa panas, memberikan rasa yang lebih sejuk,” ungkapnya.
Untuk menghadapi cuaca panas ekstrem, Djati menyarankan untuk menjaga daya tahan tubuh agar tidak mudah sakit. Tidak keluar ketika sedang panas terik atau di antara jam 10 hingga jam 2 apabila tidak memiliki keperluan mendesak. “Apabila terpaksa keluar, lindungi badan dari sinar matahari agar tidak terdampak langsung dengan tubuh,” pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi cuaca panas dengan suhu maksimum mencapai 37,6°C diperkirakan akan berlanjut hingga akhir Oktober atau awal November 2025. Kondisi ini menerpa beberapa daerah di Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Posisi gerak semu matahari yang berada di selatan ekuator menjadi penyebab utama dari cuaca panas tersebut.
