Netanyahu kemudian dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama buruk bagi visi negara Yahudi: memberikan kewarganegaraan penuh yang pada akhirnya akan mengikis karakter Yahudi Israel, atau mempertahankan sistem di mana jutaan orang hidup tanpa hak politik yang setara, sebuah realitas yang banyak digambarkan sebagai apartheid. Pilihan mana pun yang diambil, citra demokrasi Israel di mata dunia akan hancur, dan Netanyahu akan dicatat dalam sejarah sebagai arsitek dari kebijakan kontroversial ini.
Ekonomi Israel yang maju dan berbasis teknologi juga tidak kebal dari dampak aneksasi. Tekanan internasional dapat berwujud dalam bentuk sanksi ekonomi dan boikot yang lebih terorganisir. Perusahaan-perusahaan internasional dan dana investasi mungkin akan berpikir dua kali untuk beroperasi di atau mendanai sebuah negara yang dianggap melakukan pelanggaran hukum internasional secara terang-terangan.
Melemahnya perekonomian akan langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Israel dan merusak narasi Netanyahu tentang kemakmuran dan kekuatan Israel di bawah kepemimpinannya. Ketidakpuasan ekonomi dapat dengan cepat menggerus dukungan publik yang selama ini ia andalkan.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Pada akhirnya, aneksasi akan mengukuhkan warisan politik Netanyahu sebagai pemimpin yang memilih jalan konfrontasi abadi daripada rekonsiliasi. Meski hal ini mungkin membuatnya dikenang sebagai pahlawan oleh para pendukung garis keras, bagi sebagian besar dunia dan sejarah, ia akan dicap sebagai tokoh yang menutup pintu perdamaian untuk generasi yang akan datang.
Warisan ini dapat mengisolasi Israel dalam jangka panjang dan justru membuat posisi Netanyahu dalam catatan sejarah menjadi sangat kontroversial dan rapuh.
Meski aneksasi Tepi Barat tampaknya selaras dengan retorika nasionalis Netanyahu, pelaksanaannya justru akan membahayakan posisinya dari segala sisi. Ia akan terjepit antara tekanan internasional, instabilitas keamanan, perpecahan koalisi, dilema demografi, dan risiko ekonomi.
Alih-alih mengukuhkan kekuasaannya, langkah tersebut justru berpotensi menjadi awal dari kejatuhannya, membuktikan bahwa dalam politik, langkah paling radikal sering kali membawa konsekuensi yang paling berbahaya bagi pelakunya.
