Meskipun intelijen Mesir berusaha menjaga keseimbangan dalam konflik, peran mereka juga menghadapi tantangan dan tuduhan. Salah satu insiden yang menjadi sorotan adalah pada tahun 2024, ketika dilaporkan bahwa intelijen Mesir diduga mengubah persyaratan usulan gencatan senjata yang sebelumnya telah disepakati oleh Israel, yang pada akhirnya menggagalkan kesepakatan tersebut.
Mesir menyisipkan penekanan pada pencapaian “gencatan senjata permanen dan ketenangan yang berkelanjutan” sebagai tujuan akhir dari kesepakatan tersebut. Frasa ini secara signifikan berbeda dengan posisi Israel, yang saat itu hanya setuju pada gencatan senjata sementara.
Modifikasi tersebut secara esensial mengubah substansi perjanjian dan menyajikan kepada Hamas sebuah kesepakatan yang jauh lebih menguntungkan dari apa yang sebenarnya telah disepakati oleh Israel. Akibatnya, ketika Hamas mengumumkan persetujuan mereka pada 6 Mei 2024, Israel terkejut dan segera menolak kesepakatan yang telah diubah tersebut, karena tidak mencerminkan persyaratan yang sebelumnya telah disetujui.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Insiden ini tidak hanya menggagalkan kesepakatan, tetapi juga memicu kemarahan di antara para mediator, termasuk Direktur CIA Bill Burns, yang merasa telah diperdaya oleh intelijen Mesir. Hal ini menggambarkan kerumitan dan ketidakpercayaan dalam mediasi yang sudah sangat sensitif, serta menyoroti peran ambigu Mesir dalam perundingan tersebut.
Terlepas dari kontroversi tersebut, peran intelijen Mesir tetap krusial dalam dinamika konflik, menjadi saluran komunikasi utama yang memungkinkan dialog, bahkan di tengah ketegangan dan permusuhan yang intens.
