NasDem, dengan struktur yang lebih mapan dan pengalaman dalam permainan politik nasional, masih memiliki peluang untuk bertahan, asal mampu mentransformasi diri menjadi kekuatan yang menawarkan counter-narrative terhadap arus besar politik patronase.
Di ujung spektrum, apa yang kita saksikan bukan sekadar pertarungan dua partai, melainkan kontestasi dua model politik pasca-Jokowi, satu yang berusaha mempertahankan kontinuitas kekuasaan melalui rebranding (PSI), dan satu lagi yang mencoba merebut kembali legitimasi melalui resistance yang tak bisa dihindari saat para elitenya terkesan “dibajak” (NasDem).
Keduanya kini berada di titik tak terelakkan menuju benturan politik terbuka, di mana eksodus elite, simbol loyalitas, dan pertaruhan narasi menjadi amunisi utama.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Jika fase antebellum ditandai dengan manuver diam-diam dan pertemuan sarat interpretasi, maka para bellum NasDem–PSI akan menentukan bentuk baru politik Indonesia ke depan, antara oligarki yang beregenerasi atau partai-partai yang belajar bertahan hidup di luar orbit kekuasaan.
Dalam konsep military build-up, ada dua kemungkinan: bertahan atau berubah. NasDem kini harus memilih, sebelum perang benar-benar dimulai.
Penulis: Bondhan W, Pengamat Intelijen