PSI kini seolah berperan sebagai wahana sirkulasi elite, sementara NasDem sedang menghadapi fase degeneratif di mana sumber-sumber kekuasaan (akses, figur, narasi) mengalami depletion.
Dalam kerangka ini, strategi PSI tampak seperti operasi soft conquest, bukan perang frontal, melainkan proses penyerapan gradual atas energi dan sumber daya lawan.
Kehadiran Jokowi di balik pergerakan ini, meski tidak eksplisit, memperkuat impresi bahwa PSI bukan sekadar partai kecil yang tumbuh secara organik, melainkan instrumen untuk mempertahankan relevansi politik sang mantan presiden di luar struktur formal negara.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Dengan demikian, PSI menjadi semacam “partai satelit” baru dalam sistem multi-partai Indonesia, mungkin saja akan mengambil tempat yang dulu sempat diisi oleh NasDem di era awal Jokowi.
Situasi ini bukan tidak mungkin menempatkan NasDem dalam fase para bellum, atau masa persiapan “perang”.
Pertemuan Surya Paloh dengan Sjafrie Sjamsoeddin bisa saja mengindikasikan bahwa partai tengah menata ulang basis pertahanannya, baik di tingkat struktur maupun narasi.
Paloh tampaknya sadar bahwa NasDem tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan soft diplomacy terhadap kekuasaan.
Untuk bertahan, partai harus memperkuat daya tawar baru: memperkuat jaringan daerah, mempertahankan loyalitas kader inti, dan membangun aliansi lintas kelompok yang lebih ideologis ketimbang pragmatis.
Namun tantangan terbesarnya adalah membangun ulang relevansi di tengah bergesernya pusat gravitasi politik nasional.
Setelah gagal menguasai jalur kekuasaan eksekutif dengan mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024, NasDem kini menghadapi ancaman ganda, yakni erosion from above (hilangnya akses ke patron kekuasaan) dan erosion from below (pergeseran pemilih ke partai yang lebih muda dan populer seperti PSI).
Baca Juga:Sekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke PimpinanKetua Koperasi Al- Azariyah dan Pengawas Operasional Tersangka Insiden Longsor Tambang Galian C Gunung Kuda
Tanpa figur penyeimbang prominen yang pada masanya menjadi sumber daya simbolik, NasDem harus mencari bentuk baru yang bisa mengembalikan citra reformisnya, bukan hanya sebagai partai netral, tetapi sebagai moral counterweight di tengah dominasi partai-partai prostatus quo. Sesuatu yang kiranya cukup berat dilakukan.
Dalam logika realpolitik, PSI mungkin tampak unggul karena memiliki akses ke jaringan kekuasaan dan dukungan simbolik Jokowi. Tetapi secara strategis, PSI masih menghadapi risiko overdependence—ketergantungan berlebihan pada figur tunggal dan modal politik yang belum teruji di lapangan elektoral besar.