Perang Dingin Politik NasDem-PSI

Surya Paloh dan Jokowi
Surya Paloh dan Jokowi
0 Komentar

EKSODUS elite NasDem ke PSI menandai babak baru politik terkini. Di tengah pergeseran patronase dan strategi kekuasaan, dua partai ini tampak bersiap menuju perang dingin politik, antara kontinuitas dan gamang keseimbangan, antara rebranding kekuasaan dan upaya bertahan di luar orbitnya.

Terdapat nuansa tegang yang kian pekat di lanskap politik kekinian. Tiga peristiwa terbaru memperlihatkan bahwa peta aliansi dan rivalitas politik di kalangan partai menengah dan Partai Super Tbk. seolah sedang mengalami rekalibrasi yang dalam.

Pertama, migrasi sejumlah kader NasDem—termasuk Ahmad Ali dan Rusdi Masse—ke posisi kunci baru di PSI menandai gejala eksodus elite yang tak bisa diremehkan.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Kedua, pertemuan Wakil Ketua Umum PSI, Ronald Sinaga dengan Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni, yang disebut-sebut diketahui Presiden Jokowi, memberi dimensi strategis pada hubungan segitiga antara PSI, NasDem, dan eks kekuasaan eksekutif yang disebut masih memiliki pengaruh.

Ketiga, pertemuan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dengan Menter Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, seolah mengindikasikan sinyal tertentu.

Tak berlebihan kiranya untuk mengadopsi istilah klasik ilmu hubungan internasional, fase ini adalah antebellum—masa sebelum perang, di mana gerak-gerik para aktor belum berupa konfrontasi terbuka, tapi sudah mengandung intensitas ancaman dan kalkulasi kekuatan.

Jika PSI tengah membangun momentum sebagai partai muda dengan akses ke lingkar eks kekuasaan Jokowi, NasDem justru harus berhadapan dengan ancaman pengikisan daya tawar—baik di tingkat elite maupun elektoral.

Pertanyaannya kini apakah yang kiranya sedang terjadi di antara NasDem dan PSI?

Kehadiran PSI sebagai “anak ideologis” Jokowi menjadi variabel penting dalam reposisi partai-partai pasca-Pemilu 2024. Di tengah beralihnya loyalitas sejumlah elite dan kader, PSI tidak hanya menawarkan platform politik baru, tapi juga simbol kontinuitas kekuasaan Jokowi setelah ia tak lagi berada di kursi presiden.

Dalam logika politik patronase, hal ini mengandung daya tarik besar bagi kader partai lain yang sebelumnya mengandalkan akses personal ke kekuasaan sebagai sumber legitimasi dan distribusi sumber daya.

0 Komentar