Dengan dibukanya hubungan diplomatik, yang berarti berpotensi dibangunnya kantor perwakilan Tel Aviv di Indonesia sebagai jembatan aktivitas klandestin. Bukan tidak mungkin Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dapat menjadi sasaran dari berbagai operasi intelijen yang dilakukan oleh Israel demi mendukung kepentingan nasionalnya.
Sisi minus kedua, yakni tekanan publik yang sangat besar. Sejak dulu, banyak masyarakat Indonesia yang sangat antipati dengan Negara Israel. Sifat antipati tersebut bersumber dari berbagai hal, seperti dari identitas dan doktrin keagamaan, perspektif kemanusiaan, motif solidaritas yang sangat kuat, maupun pemahaman dangkal masyarakat dalam konteks penyelesaian konflik global.
Publik Tanah Air, khususnya dari narasi di media sosial, seringkali lebih mementingkan kemerdekaan Palestina di atas terciptanya perdamaian secara universal di kawasan Timur Tengah maupun mendukung upaya pencegahan timbulnya korban jiwa yang lebih besar akibat dari serangan Israel.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Padahal, proses resolusi konflik bukanlah proses yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. Kompromi two-state solution seperti yang disampaikan Presiden Prabowo dapat menjadi awalan yang lebih masuk akal demi terciptanya perdamaian serta menghentikan kekerasan yang terjadi di Jalur Gaza.
Ketiga, adanya potensi ketidakstabilan politik dalam negeri. Sikap antipati dari publik Indonesia tidak hanya terjadi di kalangan grassroot, melainkan juga oleh elite politik, khususnya dari kalangan berlatarbelakang politik Islam kanan. Meskipun hal ini cenderung dapat dikompromikan, ketidakpuasan atas pengambilan keputusan politik di level elite dapat memengaruhi konstituen legislatif maupun eksekutif.
Seringkali, isu konflik Israel-Palestina menjadi komoditas politik yang dapat dimanfaatkan dalam rangka meraih simpati masyarakat, atau sebaliknya, dapat menjadi faktor yang dapat dimanfaatkan oleh sebagian elite untuk menciptakan ketidakstabilan politik dalam negeri.
Perlu diingat, political will yang sangat besar dari konstituen elite politik domestik juga diperlukan apabila Indonesia ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Maka, sejatinya perlu kehati-hatian yang sangat mendalam bagi Indonesia dalam mengambil keputusan membuka jalur hubungan diplomatik dengan Israel. Andai-andai bila memang di masa depan nanti benar-benar terjadi, di mana Israel mengakui berdirinya Negara Palestina dan Indonesia pada akhirnya memang akan membuka jalur diplomatiknya, analisis dan kalkulasi dampak atas pengambil kebijakan tersebut perlu menjadi fokus utama.