TERJADINYA government shutdown di Amerika Serikat (AS) justru menciptakan peluang bagi pasar obligasi Indonesia.
Ketidakpastian fiskal di ekonomi terbesar dunia itu mendorong sebagian investor global melakukan reposisi portofolio, termasuk ke aset berimbal hasil tinggi (high-yield emerging market bonds) seperti Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia.
Head of Fixed Income Analyst PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Nasrudin menilai, dampak shutdown AS terhadap pasar obligasi domestik tidak bersifat langsung, tetapi tetap signifikan melalui sentimen global dan arus modal.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
“Shutdown memang menimbulkan ketidakpastian, tetapi efeknya tidak serta-merta negatif bagi Indonesia. Dalam kondisi pasar global yang penuh tekanan, sebagian investor justru mencari alternatif dengan carry trade ke negara berkembang yang menawarkan yield menarik seperti Indonesia,” ujarnya kepada Beritasatu.com.
Data pasar menunjukkan, selama periode 6–9 Oktober 2025, investor asing mencatatkan net buy senilai Rp 5,14 triliun di pasar SBN, setelah pada minggu sebelumnya sempat melakukan aksi jual. Penguatan ini menunjukkan kepercayaan terhadap prospek makroekonomi Indonesia yang stabil di tengah volatilitas global.
Nasrudin menambahkan, potensi shutdown AS memicu penurunan yield Treasury AS, sehingga spread terhadap obligasi Indonesia kembali melebar. Kondisi ini memperkuat minat investor terhadap SBN, khususnya Surat Utang Negara (SUN) tenor menengah hingga panjang.
“Penurunan yield Treasury mempersempit selisih dan menciptakan potensi capital gainbagi SUN. Ditambah stabilitas rupiah dan inflasi yang terjaga, minat investor asing terhadap SBN masih cukup tinggi,” jelasnya.
Imbal hasil SUN tenor 10 tahun tercatat turun ke 6,115% pada akhir pekan lalu dari 6,315% pada pekan sebelumnya. Nasrudin memperkirakan yield akan bergerak di kisaran 6,0%–6,2% dalam jangka pendek dengan kecenderungan stabil, sejalan dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan baik dari Bank Indonesia (BI) maupun The Federal Reserve (The Fed).
“Ruang penurunan yield masih terbuka jika The Fed benar-benar menghentikan siklus pengetatannya. Sementara itu, kondisi domestik yang solid, seperti inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, akan menjaga daya tarik obligasi Indonesia,” tambah Nasrudin.