Namun, dunia mengenalnya bukan sebagai filsuf, melainkan investor ulung. Soros masuk sejarah lewat peristiwa “Black Wednesday” tahun 1992, saat ia berhasil menjatuhkan Pound Sterling dengan aksi short-selling. Dalam buku The Tragedy of the European Union, Soros dan Gregor Peter Schmitz menuliskan bahwa langkah itu berangkat dari analisis ekonomi yang dingin, bukan sekadar spekulasi buta.
Short-selling, bagi saya, terdengar rumit, tapi membayangkan begini: seperti meminjam motor teman untuk dijual saat harganya tinggi, lalu menebusnya kembali ketika harga turun. Selisih itulah yang jadi untung, dan Soros melakukannya dalam skala negara.
Kenshi Taketa, dalam jurnalnya A Large Speculator in Contagious Currency Crises, menjelaskan bahwa aksi Soros membuat sebuah negara rentan krisis karena gempuran modal besar. Namun, uniknya, keberadaan pemain besar seperti Soros justru bisa mencegah penularan krisis ke negara lain, karena “serangan” terfokus pada satu target.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Soros tak hanya mengandalkan insting, ia membangun Quantum Fund sebagai kendaraan investasi global. Dari saham teknologi hingga pasar komoditas, ia mengelola dana miliaran dolar dengan strategi jangka panjang.
Kesuksesan itu membuatnya termasuk jajaran miliarder dunia, tapi ia tak berhenti di sana. Dengan kekayaan itu, ia menyalurkannya ke berbagai aktivitas filantropi, termasuk politik dan media.
Saya kembali mengangguk-angguk: ternyata Soros bukan cuma “pemain mata uang,” tapi juga penyandang dana ideologi. Pertanyaan baru muncul: jika uangnya mengalir ke media dan organisasi, apakah itu berarti ia benar-benar bisa mengendalikan opini publik? Dan bagaimana dampaknya sampai terasa di Indonesia?
Terabas via Media ala Soros?
George Soros tidak hanya beraksi di bursa saham, tapi juga di ruang wacana publik. Melalui Open Society Foundations (OSF), ia mendanai ratusan media independen, LSM, dan proyek sosial yang mendorong demokrasi dan keterbukaan.
Saya teringat bacaan karya Michael Barker, The Soros Media “Empire”: The Power of Philanthropy to Engineer Global Media Influence. Di sana digambarkan bagaimana dana Soros mengalir ke media progresif di Amerika dan Eropa, membentuk opini agar selaras dengan nilai “masyarakat terbuka” yang ia yakini.