MANTAN Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono menyebut George Soros bisa jadi salah satu dalang di balik berbagai demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025.
Siapa sebenarnya sosok yang masih dianggap “dalang” di Indonesia ini?
Membuka ponsel dan menemukan headline: Mantan Kepala BIN: Aksi Unjuk Rasa Ricuh di Depan Gedung DPR Diduga Ada Campur Tangan Pihak Luar Negeri dan nama George Soros-pun disebut.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Saya terkejut, “Ini bapak tua dari Eropa kok bisa ndalang di Indonesia?”
Nama George Soros memang sering muncul di perdebatan yang panas, seakan jadi kambing hitam instan ketika ada kerusuhan. Dari Washington hingga Jakarta, ia selalu disebut dalam nada curiga—kadang dengan bukti samar, kadang hanya berupa teori konspirasi.
Di Indonesia, tudingan itu makin ramai setelah Hendropriyono, mantan kepala BIN, menyebut adanya pihak asing yang “memancing” ricuh demonstrasi di DPR tahun 2025. Walau tidak menyebut langsung, publik membaca arah tuduhan itu seperti merujuk pada figur Soros.
Fenomena ini tak hanya lokal, sebab di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump juga menyebut nama Soros sebagai dalang dari kerusuhan politik yang mengguncang. Seakan Soros selalu jadi tokoh antagonis global yang mudah dipanggil untuk menjelaskan kekacauan.
Saya berkerut, lalu bertanya: apakah benar satu orang bisa sebegitu kuatnya hingga namanya muncul di dua benua sekaligus? Atau jangan-jangan Soros hanyalah cermin dari kecemasan publik tentang globalisasi dan modal asing?
Di sinilah muncul dilema. Soros bisa dilihat sebagai tokoh jahat yang “mengatur dunia,” tapi bisa juga dipahami sebagai investor piawai yang tahu membaca peluang. Pertanyaannya: siapakah sebenarnya George Soros? Dan bagaimana ia mengumpulkan kekuatan finansial yang membuatnya begitu berpengaruh?
Siapa George Soros?
George Soros lahir di Hungaria pada 1930-an, masa ketika Eropa dicekam perang dan diskriminasi. Dari kecil, ia sudah terbiasa hidup dengan strategi bertahan, yang kelak jadi dasar kelihaian membaca risiko.
Baca Juga:Sekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke PimpinanKetua Koperasi Al- Azariyah dan Pengawas Operasional Tersangka Insiden Longsor Tambang Galian C Gunung Kuda
Setelah pindah ke Inggris, Soros belajar di London School of Economics. Di sana ia bertemu Karl Popper, filsuf yang menekankan nilai “masyarakat terbuka” dan pentingnya kebebasan. Ide itu menempel kuat di kepalanya, membentuk bukan hanya pandangan politik tapi juga arah filantropinya.