Meskipun Sekretaris Jenderal OKI Hissein Brahim Taha pernah menyerukan penyatuan ulama dan otoritas agama untuk melawan keputusan tersebut pada Desember 2022, seruan itu tak pernah terealisasi.
Ironisnya, dalam waktu sebulan, keputusan OKI justru berubah drastis, meminta komunitas internasional untuk tidak mencampuri urusan internal Afghanistan.
Hingga kini, belum ada satu pun negara Muslim yang secara resmi mengakui pemerintahan Taliban. Namun, baik negara-negara Muslim secara individual maupun OKI secara kolektif, tak mengambil tindakan konkret terhadap kelompok tersebut.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Profesor Saikal mengungkapkan, sebagian besar anggota OKI justru terlibat dalam interaksi politik, ekonomi, keuangan, dan perdagangan dengan Taliban.
Akar Masalah: Rivalitas dan Kurangnya Strategi
Menurut Profesor Saikal, ada beberapa alasan di balik ketidakefektifan OKI dalam menghadapi dua krisis ini. Pertama, negara-negara anggota belum mampu menjadi ‘pembangun jembatan’ untuk mengembangkan strategi bersama. Mereka gagal mengatasi perbedaan geopolitik dan sektarian yang ada di antara mereka demi tujuan dan tindakan bersama.
Kedua, OKI cenderung hanya menjadi ajang diskusi semata, apalagi dengan adanya persaingan antara negara-negara anggota, serta dengan kekuatan global seperti AS dan China.
“Sudah saatnya melihat fungsi OKI dan menentukan caranya lebih efektif dalam menyatukan umat,” ujar Profesor Saikal, menegaskan perlunya reformasi mendalam agar OKI bisa benar-benar menjadi kekuatan yang signifikan di panggung dunia.