Hadapi Bencana Alam Belajar ke Jepang, Pernah Anggap Sepele Kini Negeri Sakura Itu Tanggap Reaksi Cepat

Distrik Nihonbashi, salah satu daerah tersibuk di Tokyo, digambarkan dalam reruntuhan setelah gempa bumi berke
Distrik Nihonbashi, salah satu daerah tersibuk di Tokyo, digambarkan dalam reruntuhan setelah gempa bumi berkekuatan 8,3 skala Richter melanda di dekat ibu kota Jepang pada 1 September 1923. FOTO/AP
0 Komentar

GEMPA bumi berkekuatan M8,7 skala Richter mengguncang wilayah Kamchatka, Rusia, pada Rabu (20/7/2025). Gempa dangkal ini cukup kuat untuk memicu peringatan tsunami di sejumlah wilayah, termasuk Kepulauan Pasifik, Rusia, dan Jepang.

Mengutip The Guardian, peringatan tsunami telah dikeluarkan untuk Kepulauan Mariana Utara seperti Guam, Rota, Tinian, dan Saipan. Pemerintah Jepang yang wilayahnya cukup dekat dengan pusat gempa juga telah mengeluarkan peringatan darurat.

Masyarakat diminta menjauh dari pantai dan tidak memasuki laut, terutama di sepanjang garis pantai Pasifik. Sebab, gelombang tsunami setinggi satu meter diperkirakan akan menghantam mereka di Hokkaido, pulau paling utara Jepang, sekitar pukul 10.00 waktu setempat, lalu bergerak ke arah selatan antara pukul 10.30 hingga 11.30.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Sebagai respons cepat, pemerintah Jepang langsung melakukan evakuasi warga. Respons sigap ini mencerminkan kesiapan Jepang dalam menghadapi bencana alam. Namun, kesiapan tersebut bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja.

Dahulu, Jepang justru dikenal abai terhadap ancaman bencana alam. Semua berubah ketika satu tragedi besar mengguncang negeri itu, yakni Gempa Kanto 1923, yang menewaskan 100 ribu orang.

Jepang merupakan negara paling sering mengalami gempa bumi karena berada di zona pergerakan lempeng tektonik. Menurut riset “A short history of Japanese historical seismology: past and the present” (2017), gempa pertama kali tercatat di Jepang pada tahun 416 Masehi.

Pada masa itu, masyarakat belum memiliki perhatian khusus terhadap ancaman gempa. Tidak ada kebijakan mitigasi yang memadai karena jumlah penduduk masih sedikit dan bangunan belum banyak.

Akibatnya, setiap kali terjadi gempa, dampaknya dianggap sepele dan tidak terlalu mengganggu kehidupan sehari-hari. Namun, semua berubah drastis ketika Gempa Kanto mengguncang pada 1 September 1923.

Gempa bermagnitudo 7,9 itu hanya berlangsung selama 20 detik, tetapi dampaknya luar biasa. Ribuan bangunan ambruk dan kebakaran besar pun menyusul.

Dalam laporan “Earthquake Disaster Mitigation Policy in Japan” (2007), disebutkan, kondisi memburuk karena tidak ada satu pun bangunan yang mampu bertahan menghadapi bencana. Masyarakat juga tidak tahu harus berbuat apa saat gempa terjadi, sehingga membuat proses evakuasi kacau dan tidak terorganisir.

0 Komentar