Pada siang hari, kelompok itu bertambah menjadi sekitar 10 ribu orang. Orang-orang kampung di sekitar rel kereta api Cikini dan anak-anak sekolah menengah atas yang baru saja pulang sekolah turut berhimpun.
Lalu, sekitar pukul 2 siang, lempar-melempar batu kembali terjadi, bahkan lebih berani. Aparat TNI-Polri membalasnya dengan melempar gas air mata, menyemprotkan water canon, dan memukul mereka dengan pentungan.
Setelah diserbu aparat, massa tercerai-berai ke segala arah. Kerusuhan di kantor DPP PDI itu memicu kerusuhan yang lebih luas di Jakarta.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Rekaman kesaksian dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009), disusun oleh Jérôme Tadié, menyebutkan kerusuhan itu meluas ke Menteng di sepanjang Jalan Surabaya dan ke arah Salemba di sepanjang Jalan Diponegoro dan Proklamasi. Massa bergerak ke utara menuju Senen, dan ke selatan menuju Kampung Melayu.
Terakhir kali kerusuhan seperti itu terjadi pada peristiwa yang dijuluki Malari alias Malapetaka 15 Januari, 22 tahun sebelumnya.
“Maka, ketika dicermati peta distribusi kerusuhan, tampak kemiripan dengan kerusuhan (Malari) 1974, khususnya di Jalan Salemba-Kramat-Senen. Massa menyebar dengan cara yang sama pada 1974 dan 1996: dimulai dari satu tempat, pemberontakan meluas di sepanjang jalan utama, sambil bergerak perusuh membakar berbagai simbol kekuasaan politis (kantor Departemen Pertanian) dan ekonomis (bank, agen, mobil, dsb.),” tulis Tadié.
Terjal dan penuh intrik. Demikian gambaran persaingan antara Soerjadi dan Megawati.
Megawati menjadi anggota PDI pada 1987. Saat itu partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 tersebut bakal mengikuti pemilihan umum untuk ketiga kali melawan Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan.
Pada dua Pemilu sebelumnya, PDI selalu di posisi buncit. Suara yang diperoleh partai hasil fusi empat partai golongan demokrasi pembangunan—PNI, IPKI, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik—itu cuma 8,05 persen (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66 persen (24 kursi) pada Pemilu 1982.
Megawati direkrut karena garis keturunan sebagai putri proklamator Sukarno, yang dinilai mampu menarik pemilih.
Baca Juga:Sekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke PimpinanKetua Koperasi Al- Azariyah dan Pengawas Operasional Tersangka Insiden Longsor Tambang Galian C Gunung Kuda
“Tahun 1987, Megawati dan Guruh Soekarno berhasil dirayu Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI saat itu, untuk masuk PDI dan menjadi vote getter pada Pemilu 1987,” tulis Sumarno dalam Megawati Soekarnoputri: Dari Ibu Rumah Tangga ke Panggung Politik (2002).