Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa pengaruh Jurist dalam proses tersebut signifikan. Meski bukan pejabat struktural, Jurist dianggap menjadi aktor penting di balik perubahan hasil kajian teknis mengenai laptop pendidikan.
Padahal sebelumnya, kajian tahun 2018-2019 merekomendasikan penggunaan laptop berbasis Windows karena keterbatasan infrastruktur internet di sejumlah wilayah Indonesia.
Namun setelah kajian ulang pada Juni 2020, laptop Chromebook justru diunggulkan dan akhirnya dipilih untuk pengadaan dengan anggaran mencapai Rp 9,9 triliun, termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 6,3 triliun.
Mangkir dari Panggilan Pemeriksaan
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Jurist Tan diketahui tidak memenuhi panggilan penyidik Jampidsus Kejagung pada Selasa, 15 Juli 2025. Kuasa hukumnya mengirimkan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa kliennya tidak dapat hadir karena urusan pribadi dan keluarga.
Ini bukan kali pertama Jurist tidak hadir dalam pemeriksaan. Sebelumnya, rumahnya telah digeledah penyidik pada 21 Mei 2025. Namun hingga kini, keberadaannya belum jelas. Ia diduga berada di Australia, yang menjadi salah satu negara tujuan tinggal atau studi bagi sejumlah warga negara Indonesia.
Ada Kerja Sama Ekstradisi Indonesia-Australia?
Konon dikabarkan Jurist Tan, telah terdeteksi berada di Australia. Kejagung telah mencegahnya ke luar negeri sejak 4 Juni 2025, namun ia lebih dulu meninggalkan Indonesia sebelum pengajuan pencegahan tersebut.
Kuasa Hukum Jurist Tan sempat mengajukan pemeriksaan via daring atau jika memungkinkan penyidik mendatangi kliennya. Namun sampai hari ini penyidik belum mengakomodir permintaan itu.
Meski keberadaan Jurist Tan di Australia belum dikonfirmasi secara resmi oleh otoritas, muncul pertanyaan mengenai kemungkinan pemerintah Indonesia memulangkan tersangka melalui mekanisme ekstradisi.
Indonesia dan Australia memiliki perjanjian ekstradisi yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pengesahan Persetujuan Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. Perjanjian ini memungkinkan kedua negara untuk menyerahkan tersangka tindak pidana, termasuk korupsi, apabila memenuhi sejumlah ketentuan hukum dan administratif.
Namun dalam praktiknya, proses ekstradisi memerlukan permintaan resmi melalui jalur diplomatik, dan harus melalui tahap pemeriksaan kelengkapan dokumen, verifikasi yuridis, hingga persetujuan otoritas hukum negara yang diminta. Belum ada keterangan dari Kejaksaan Agung maupun Kementerian Luar Negeri terkait apakah proses tersebut telah dimulai dalam kasus ini.