Simbol Spiritualitas Kekuasaan dari Gunung Lawu

Gunung Lawu. Foto/Istimewa
Gunung Lawu. Foto/Istimewa
0 Komentar

Apakah Jokowi akan “moksa” secara politik seperti Brawijaya V? Atau justru tetap memelihara pengaruhnya seperti Soeharto pasca-Orde Baru? Di balik semua itu, Lawu terus menjadi latar senyap yang menyaksikan satu per satu pemimpin datang dan pergi.

Mengapa Gunung Lawu begitu kuat dalam imajinasi kepemimpinan Jawa dan Indonesia? Secara sosiologis, ini bukan fenomena baru. Dalam berbagai peradaban, pegunungan selalu dianggap sebagai titik pertemuan antara dunia manusia dan alam gaib. Dalam konteks ini, Lawu bukan hanya geografi, melainkan simbol spiritualitas kekuasaan.

Salah satu pendekatan untuk memahami hal ini bisa ditarik dari teori kharisma tradisional ala Max Weber. Menurut Weber, kharisma dalam konteks budaya tradisional sering kali bersumber dari mitos, kesaktian, dan kedekatan pemimpin dengan alam dan leluhur. Seorang pemimpin tidak hanya dinilai dari kebijakannya, tapi dari aura mistik yang mengitarinya. Soeharto, dengan semedinya di Lawu, menciptakan aura itu.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Di sisi lain, Claude Lévi-Strauss, antropolog strukturalis, menjelaskan bagaimana mitos bekerja sebagai sistem pemaknaan sosial. Dalam masyarakat tradisional, mitos tentang Brawijaya V atau kesaktian gunung tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tapi menjadi struktur berpikir masyarakat dalam menilai kekuasaan. Lawu menjadi “arsip hidup” bagi pemaknaan kekuasaan: tempat para pemimpin mencari restu tak kasatmata.

Sementara itu, dalam pendekatan geopolitik mistis, seperti yang banyak dibahas dalam studi-studi Jawa, gunung dipercaya sebagai axis mundi, pusat spiritual yang menghubungkan langit dan bumi. Dalam kosmologi Jawa, gunung adalah tempat para dewa dan leluhur.

Seorang pemimpin yang “berani” mendekati gunung seperti Lawu, secara simbolik menunjukkan kedekatannya pada kekuatan ilahi dan legitimasi kosmis. Maka tak heran jika para elite politik merapat ke Lawu—entah dalam bentuk ziarah, tapa brata, dan lain-lain.

Ketiga teori ini menyatu membentuk konstruksi makna yang kompleks: bahwa pemimpin tidak hanya menjalankan kekuasaan, tapi juga memerankan mitos. Dalam hal ini, Gunung Lawu berperan sebagai panggung spiritual tempat mitos-mitos itu terus hidup.

0 Komentar