Bertugas di Papua, Manuver Gibran?

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
0 Komentar

Bila ditinjau melalui lensa teori institusionalisme strategis (strategic institutionalism), penugasan ini dapat menjadi kesempatan Gibran untuk mengaktualisasikan peran barunya sebagai wakil presiden. Hal ini berpotensi menjadi momentum pembentukan citra politik yang lebih mandiri—dari sosok yang sebelumnya sering diasosiasikan sebagai “anak presiden”, menjadi figur pemimpin muda yang aktif dan siap menghadapi tantangan kebijakan publik.

Di sisi lain, pendekatan ini juga bisa dianalisis melalui teori performatif dalam politik. Dalam pandangan Judith Butler yang awalnya berasal dari kajian gender, identitas politik dibentuk dan diperkuat lewat performa dan pengulangan tindakan.

Gibran dengan mengambil posisi aktif dan terlihat “turun ke lapangan” dalam isu Papua, berpeluang menanamkan performa identitas baru: seorang pembantu presiden yang menjalankan mandat konstitusional dengan penuh kesungguhan.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Meski demikian, perlu dicatat bahwa ini adalah arena dengan kompleksitas tinggi. Papua adalah wilayah yang tidak hanya menghadirkan tantangan pembangunan fisik, tetapi juga persoalan sosial, politik, dan historis yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Karena itu, misi ini juga bisa menjadi batu ujian yang sulit. Namun, jika berhasil menunjukkan efektivitas koordinasi, pendekatan kebijakan yang humanistik, dan progres nyata, maka Gibran bisa mengubah arena yang tadinya bersifat rutin menjadi lompatan strategis.

Apa yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, barangkali mencerminkan substansi paling mendasar dari dinamika ini: “Bergantung pada Gibran, apakah ia bisa memanfaatkan panggung ini atau tidak.” Dengan kata lain, semua kemungkinan tetap terbuka.

Tugas percepatan pembangunan Papua adalah tradisi institusional yang telah berlangsung lebih dari satu periode. Namun, seperti dalam banyak sistem politik, aktorlah yang menentukan apakah tradisi itu hanya menjadi ritual berulang atau bertransformasi menjadi momentum baru.

Dalam pandangan filsafat politik Hannah Arendt, kekuasaan sejatinya lahir dari kemampuan bertindak secara kolektif dan memperbarui makna tindakan politik di ruang publik. Gibran, sebagai aktor politik muda, kini berada di persimpangan: akankah ia mengikuti jejak pendahulunya dengan peran yang nyaris simbolik, atau justru mentransformasi peran itu menjadi pencapaian nyata?

0 Komentar