13 Juni, Israel melancarkan serangan tanpa provokasi terhadap Iran dengan tujuan tidak hanya menghancurkan fasilitas program nuklir Teheran, tetapi juga berpotensi memicu perubahan rezim di negara tersebut.
Di antara ratusan korban di Iran, terdapat lebih dari dua lusin ilmuwan nuklir dan lebih dari dua puluh komandan militer senior, termasuk kepala staf dan kepala Pengawal Revolusi.
Iran membalas serangan tersebut dengan menargetkan pangkalan militer Israel, menembakkan ratusan misil dan drone yang berhasil menembus sistem pertahanan Iron Dome yang selama ini dibanggakan oleh negara zionis tersebut.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Selama beberapa dekade, Israel telah memperingatkan, terutama kepada Amerika Serikat dan sekutu Baratnya, tentang ambisi nuklir Iran. Namun, ini adalah salah satu episode paling ironis dalam hubungan internasional.
Israel telah lama dicurigai memiliki senjata nuklir, meskipun tidak pernah secara resmi mengakuinya, dan dengan nyaman menolak untuk bergabung dengan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Meskipun begitu, ironisnya, Israel berusaha membongkar program nuklir Iran, sebuah negara yang telah menandatangani NPT dan mengizinkan inspeksi lembaga internasional terhadap fasilitasnya.
Perilaku antagonistik Israel bukanlah hal baru. Pada tahun 1981 dan 2007, Israel menghancurkan reaktor nuklir Irak dan Suriah. Pada kedua kesempatan tersebut, komunitas internasional tetap diam, gagal memberikan sanksi kepada Israel atau mencegah agresi di masa depan.
Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1991, The Samson Option, Seymour Hersh merinci bagaimana Israel mengembangkan program senjata nuklir sejak tahun 1950-an dengan sedikit pengawasan, kecuali sedikit tekanan dari Presiden AS saat itu, John F. Kennedy, pada awal 1960-an.
Pada tahun 1960, AS menemukan fasilitas nuklir Dimona milik Israel melalui intelijen dan pengawasan udara. Israel awalnya mengklaim bahwa lokasi tersebut adalah pabrik tekstil, kemudian menyebutnya sebagai reaktor penelitian.
Kennedy, yang sangat menentang proliferasi nuklir, memandang aktivitas nuklir rahasia Israel sebagai ancaman bagi stabilitas global.
Baca Juga:Sekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke PimpinanKetua Koperasi Al- Azariyah dan Pengawas Operasional Tersangka Insiden Longsor Tambang Galian C Gunung Kuda
Antara tahun 1961 dan 1963, ia menuntut inspeksi rutin AS terhadap fasilitas Dimona dan mengirim beberapa surat kepada Perdana Menteri Israel saat itu, David Ben-Gurion, menuntut transparansi.
Pada April 1963, Kennedy memperingatkan bahwa dukungan AS dapat terancam jika tidak ada kepatuhan. Ben-Gurion tiba-tiba mengundurkan diri sebelum memberikan tanggapan. Penggantinya, Levi Eshkol, menunda dan menghindari inspeksi penuh.