MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini, kondisi perekonomian pada 2026 tak akan lebih baik dari kondisi pada 2025. Ia mendasari dari pemburukan konflik geopolitik di berbagai negara.
Pada 2025 saja Sri Mulyani mengatakan, perang tarif hingga perang bersenjata di berbagai belahan dunia telah membuat Trade Policy Uncertainty Index meroket dari kisaran 1.000 menjadi hampir menembus level 8.000. Demikian juga Volatility Index (VIX) di pasar keuangan yang terus bergerak naik.
“Ini yang kita pastikan di 2026 tidak menurun. Jadi dinamikanya itu bukannya membaik malah justru akan melonjak, karena kebetulan beberapa di drive geopolitik yang tentu kepentingan itu tidak bisa di rekonsiliasikan,” ujar Sri Mulyani saat rapat kerja di Badan Anggaran (Banggar) DPR, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Sri Mulyani menegaskan, pemburukan ketidakpastian ekonomi pada 2026 akibat terus memanasnya tensi konflik geopolitik juga tercermin dari peningkatan anggaran pertahanan di negara-negara kekuatan besar, seperti yang tergabung ke dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO).
“Beberapa indikator seperti pertemuan NATO terakhir yang mengumumkan mereka akan naikkan anggaran pertahanan dari 2% ke 5% dari GDP,” ungkap Sri Mulyani.
“Bayangkan tadinya NATO, tadinya selama ini negara-negara Eropa yang belanja pertahanannya masih di bawah 1,5% dipaksa Presiden Trump naik menjadi 2% dan sekarang mereka umumkan akan naik menjadi 5% dari GDP, ini konsekuensi dari geopolitik global yang dianggap tidak aman dan tidak pasti,” tegasnya.
Pemburukan konflik geopolitik ini pun ia katakan diperparah dengan makin tak berfungsinya lembaga-lembaga internasional, yang selama ini, pasca Perang Dunia ke-2 ia sebut menjadi institusi penengah untuk menyelesaikan setiap konflik.
“Seperti pembahasan keamanan tidak lagi di PBB atau UN Security Council, tapi langsung bilateral, atau kalau kita bicara perselisihan dagang tidak lagi di WTO tapi secara bilateral dan ini tentu akan menimbulkan volatilitas yang makin tinggi karena tidak ada kepastian dari prosedur mekanisme dan rule nya,” tutur Sri Mulyani.