Tren Munculnya Aktivis Pro-Israel di Indonesia, Pengamat: Sangat Meresahkan

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Namun perbandingan ini sangat dangkal. Ia mengabaikan kenyataan bahwa “keterbukaan” institusi Israel berdiri berdampingan dengan sistem eksklusi terhadap warga Palestina.

Pada 2021, Rijkers mengusulkan ide yang lebih kontroversial di laman Facebook miliknya. Ia mengatakan bahwa memindahkan warga Gaza ke Indonesia dan membentuk provinsi ke-35 bernama “Gaza.”

Lebih parahnya lagi, ia diberikan panggung luas di media arus utama seperti TVOne dan bahkan diundang ke pesantren seperti Ponpes Al-Zaytun.

Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional

Figure lain yang menyuarakan propaganda serupa adalah Flemming Pangabean, ia merupakan WNI yang tinggal di Israel. Pangabean mempromosikan Israel sebagai tujuan kerja dan pendidikan bagi warga Indonesia, termasuk membayangkan 100 pemuda Batak Kristen belajar di sana untuk “pergeseran demografi.”

Meski narasinya kurang berpengaruh, ia turut mendukung normalisasi hubungan dengan Israel. Ia mempromosikan universitas Israel yang menawarkan beasiswa.

Keduanya berdalih bahwa hubungan diplomatik dengan Israel akan mendatangkan keuntungan ekonomi dan teknologi bagi Indonesia. Rijkers bahkan menyebut ini bisa menjadi “warisan” bagi mantan Presiden Indonesia Joko Widodo.

Namun mereka melupakan fakta utama bahwa normalisasi yang mereka pikirkan berarti melegitimasi sistem apartheid. Perdamaian tidak akan tercapai tanpa keadilan, akuntabilitas, dan penghentian pendudukan serta blokade yang terjadi di Gaza.

“Tidak ada yang menolak hak kebebasan berbicara Rijkers atau Pangabean. Namun, kita harus waspada terhadap platform yang kita berikan kepada mereka dan narasi yang mereka promosikan. Aktivisme pro-Israel di Indonesia bukan sekadar isu kebijakan luar negeri; ini adalah ujian bagi ingatan kolektif kita, kompas moral kita, dan komitmen kita untuk berdiri bersama yang tertindas, bukan penindas,” tulis Zulfikar Rakhmat.

“Jangan biarkan video-video licik atau ilusi diplomatik mengalihkan perhatian kita dari kenyataan mengerikan di lapangan: masyarakat yang menghadapi genosida, masih menunggu keadilan, dan masih mengandalkan solidaritas kita yang tak tergoyahkan,” tegasnya.

0 Komentar