SETELAH berdirinya negara Israel pada 1948, Iran menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kedaulatan Israel secara de facto. Dukungan ini bukan semata-mata ideologis, melainkan hasil kalkulasi geopolitik yang cermat.
Pada dekade 1950 hingga awal 1970, Israel dan Iran bersatu oleh kepentingan bersama: menghadapi tekanan dari negara-negara Arab, mencegah pengaruh Uni Soviet, dan menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat. Di bawah kekuasaan monarki Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran melihat Israel sebagai mitra bisnis yang potensial, khususnya dalam sektor energi.
Kerja sama keduanya mencakup pembangunan jalur pipa Eilat-Ashkelon untuk menyalurkan minyak Iran ke Israel dan Eropa, menjadikan Iran pemasok utama energi bagi Israel hingga 70 persen dari total kebutuhan. Tak berhenti di situ, Iran dan Israel juga terlibat dalam proyek pertanian, pembangunan, hingga kerja sama intelijen. Puncak hangatnya hubungan kedua negara ditandai dengan pembukaan kedutaan besar kedua negara hingga 1979.
Baca Juga:Ketika Manusia Bertanya dan Mengugat, Jokowi Sudah MenjawabnyaUsai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda Nasional
Namun, semua berubah drastis ketika Revolusi Iran meletus pada 1979. Rezim baru Iran di bawah Ayatollah Khomeini membawa angin ideologis yang keras: antizionisme menjadi pilar utama politik luar negeri Iran. Israel dilabeli sebagai ”setan kecil” dan simbol penindasan terhadap Palestina. Hubungan diplomatik pun putus dan Iran berbalik menyerukan penghapusan Israel dari peta dunia.
Meski secara publik Iran bersikap anti-Israel, realitas perang Iran-Irak (1980-1988) pernah membuat Teheran harus bersikap pragmatis. Dalia Dassa dkk dalam buku Israel and Iran: A Dangerous Rivalry (2012) menguraikan, dalam kondisi kekurangan senjata akibat embargo internasional, Iran diam-diam menjalin kembali kontak dengan Israel. Israel, yang merasa Saddam Hussein lebih berbahaya, bersedia memberikan bantuan militer kepada Iran.
Kesepakatan tak resmi pun terjalin: Israel mengirimkan senjata dan komponen jet tempur ke Iran. Sebagai imbalan, Iran memfasilitasi eksodus warga Yahudi Iran ke Israel. Kolaborasi ini mencapai puncaknya dalam skandal ”Iran-Contra” yang melibatkan AS, Israel, dan Iran. Dalam kesepakatan itu, Iran menerima senjata dari AS melalui Israel, dengan imbalan membantu pembebasan sandera Amerika di Lebanon.
Namun, hubungan semu ini berakhir setelah perang usai. Iran kembali ke narasi anti-Israel. Awal 2000-an menjadi era baru permusuhan. Terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai Presiden Iran memperkuat posisi Iran sebagai ancaman bagi Israel. Program nuklir Iran di era Ahmadinejad yang berkembang pesat memicu kekhawatiran Tel Aviv. Iran berhasil menjadi negara pertama di Timur Tengah yang mendirikan pembangkit listrik tenaga nuklir pada 2011.