Namun, tantangan ini sangat berat karena kepentingan politik dan ekonomi yang sudah mengakar kuat dalam, sehingga memerlukan upaya besar untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan kompetitif.
Sementara KPK dalam artikelnya berjudul ‘Mengenal Tiga Jenis Korupsi Berdasarkan Skala dan Paparannya’ yang terbit pada 11 Januari 2023 mengutip Wuryono Prakoso, kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, yang menjelaskan soal kategorisasi korupsi. Di mana ‘state capture’ masuk di dalam bagian megakorupsi.
Jika dibagi berdasarkan skala dampak dan paparannya, maka korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu petty corruption, grand corruption, dan political corruption.
Baca Juga:Usai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda NasionalSekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke Pimpinan
Grand corruption atau biasa disebut korupsi kelas kakap adalah korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas.
KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption. Pertama, melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi, kedua, melibatkan aparat penegak hukum, ketiga, berdampak luas terhadap kepentingan nasional, dan keempat, kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.
Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan untuk melakukan state capture. State capture adalah korupsi sistemik yang terjadi ketika kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri.
Salah satu contoh grand corruption adalah korupsi proyek e-KTP yang dilakukan sejak 2011, membuat negara merugi hingga Rp 2,3 triliun. Korupsi ini melibatkan tujuh orang yang kesemuanya telah divonis antara 6-15 tahun penjara. Salah satu tokoh prominen dalam kasus ini adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis penjara 15 tahun.
Menurut lembaga Transparency International, grand corruption tidak hanya merugikan orang banyak dan dilakukan oleh pejabat publik, tapi juga melanggar hak asasi manusia. Pernyataan ini diamini oleh Wuryono.
“Benar, korupsi bisa melanggar HAM. Korupsi e-KTP, misalnya, telah melanggar hak-hak asasi masyarakat untuk memiliki kartu identitas. Sementara kasus korupsi bantuan sosial (bansos) telah melanggar hak asasi masyarakat untuk dapat hidup di saat krisis. Belum lagi pelanggaran hak asasi pada tersedianya pendidikan yang layak, atau sarana kesehatan yang baik,” ujar Wuryono.