Selain itu, pendekatan rational actor model, yang dikembangkan oleh Graham Allison dalam karyanya Essence of Decision (1971), menyatakan bahwa negara bertindak berdasarkan kalkulasi rasional untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko.
Artinya, keterlibatan dalam konflik berskala global—yang secara ekonomi, politik, dan sosial sangat merugikan—umumnya tidak rasional dalam perspektif kebijakan luar negeri negara-negara besar. Sebagai dampaknya, probabilitas terbentuknya desain politik yang menuju pada meletusnya perang besar akan semakin mengecil.
Sebagai contoh, dalam konflik Iran–Israel baru-baru ini, kedua pihak menunjukkan tindakan militer terbuka namun tetap dalam skala terbatas. Hal ini menunjukkan adanya threshold atau ambang batas yang secara sadar tidak dilampaui. Mekanisme kontrol internal dan diplomasi tidak langsung (melalui pihak ketiga atau aliansi) tetap berjalan dalam menjaga konflik agar tidak membesar.
Baca Juga:Usai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda NasionalSekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke Pimpinan
Dengan demikian, menyimpulkan bahwa eskalasi global saat ini sebagai fase awal Perang Dunia Ketiga bisa dianggap terburu-buru. Belum terlihat mobilisasi aliansi global secara masif, disrupsi sistem keuangan internasional yang sistemik, atau perekrutan populasi secara besar-besaran—tiga indikator umum dari perang dunia dalam sejarah.
Untuk memahami dinamika kontemporer ini, konsep hot peace menjadi kerangka teoritis yang relevan. Istilah ini diperkenalkan oleh ilmuwan hubungan internasional Michael McFaul, mantan Duta Besar AS untuk Rusia dan profesor di Stanford University.
Berbeda dari cold war, yang menggambarkan stabilitas dalam ketegangan pasif, hot peace merujuk pada kondisi di mana konflik dan kompetisi strategis terjadi secara aktif, namun tetap terkendali dan tidak berkembang menjadi perang terbuka antara kekuatan besar.
Dalam hot peace, negara-negara bersaing secara intensif dalam banyak domain: militer, teknologi, ekonomi, dan diplomasi. Intervensi berskala kecil, manuver militer terbatas, dan proxy war menjadi karakter utama, tanpa adanya pernyataan perang resmi.
Situasi ini dapat dilihat dalam hubungan antara AS dan Tiongkok, serta Rusia dan NATO. Meskipun terdapat gesekan, kedua pihak tetap menjaga jalur komunikasi dan batasan konflik tertentu.
Dengan kata lain, hot peace adalah bentuk interaksi global yang ambigu—tidak sepenuhnya damai, tetapi juga bukan perang dalam arti konvensional. Dunia berada dalam kondisi kompetitif yang berkelanjutan, namun di bawah kendali institusional, hukum internasional, dan kalkulasi strategis.