MENDAGRI Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkap kronologi sengketa Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Panjang oleh Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Dimana, empat pulau tersebut melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 masuk dalam wilayah Sumut. Namun, hari ini Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan keempat pulau dimiliki oleh Provinsi Aceh.
Mulanya, Tito mengatakan pada tahun 2008 dan 2009, Gubernur Aceh saat itu tidak memasukkan keempat pulau itu ke dalam wilayahnya.
Baca Juga:Usai Aksi Protes Penggerebekan Imigrasi, Los Angeles Rusuh Donald Trump Kirim Ribuan Garda NasionalSekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke Pimpinan
“Di tahun 2008 dan 2009 itu, Gubernur Aceh tidak memasukkan empat pulau yang sekarang kita permasalahkan itu, tidak masuk dalam Provinsi Aceh, tapi adanya di gugusan Pulau Banyak yang lebih kurang 70 kilometer dari empat pulau yang ada sekarang ini,” kata Tito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Hingga pada tahun 2017, Kemendagri bersama pihak terkait pernah menggelar rapat dan memutuskan keempat pulau masuk dalam kawasan Provinsi Sumut berdasarkan dokumen tahun 2008 dan 2009.
Di tahun yang sama, Pemprov Aceh juga pernah mengajukan keberatan kalau empat pulau itu masuk ke dalam wilayah Sumut dan mengeklaim keempatnya masuk ke Kabupaten Aceh Singkil.
“Tapi tanpa koordinat, koordinatnya salah, nah pada tahun 2017 itu dia (empat pulau) dimasukkan dalam cakupan Sumatera Utara,” ucapnya.
Kemudian berdasarkan Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022, tentang pemberian dan pemutakhiran kode, data wilayah pemerintahan dan pulau tahun, empat pulau itu ditetapkan masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Pihak Pemprov Aceh menyampaikan protes dan tidak mengakui karena dokumen yang diberikan tak asli, hanya berupa foto copy. Salah satu dokumen yang diberikan adalah perjanjian antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992 dan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, tentang perjanjian batas wilayah.
“Dengan adanya peta ini, tentu kita mempertimbangkan kemungkinan empat pulau ini masuk ke Aceh, namun saat itu dokumennya hanya dokumen foto copy, kita tahu dalam sistem pembuktian dokumen, foto copy mudah sekali nanti kalau misalnya ada masalah hukum untuk dipatahkan,” jelasnya.