Konstruksi Perkara
Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan ini mengungkap praktik korupsi yang berlangsung secara sistematis dan terorganisir. RPTKA merupakan dokumen penting yang wajib dimiliki oleh setiap perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Proses penerbitannya dilakukan melalui Direktorat PPTKA yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker.
Modus pemerasan dilakukan secara berjenjang oleh para tersangka. Permohonan RPTKA hanya diproses oleh verifikator apabila pemohon telah memberikan sejumlah uang. Sebaliknya, permohonan dari pihak yang tidak membayar akan diperlambat atau bahkan diabaikan. Dalam sejumlah kasus, pemohon bahkan diminta datang langsung ke kantor Kemnaker dan hanya akan “dibantu” setelah menyetorkan dana ke rekening tertentu.
Pegawai Kemnaker juga mengatur jadwal wawancara Skype secara manual sebagai bagian dari proses pengajuan RPTKA. Jadwal tersebut hanya diberikan kepada pemohon yang bersedia membayar, sementara yang tidak, ditunda tanpa kejelasan. Padahal, keterlambatan penerbitan RPTKA dapat berujung pada denda harian sebesar Rp1 juta bagi perusahaan.
Baca Juga:Sekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke PimpinanKetua Koperasi Al- Azariyah dan Pengawas Operasional Tersangka Insiden Longsor Tambang Galian C Gunung Kuda
Para pejabat tinggi seperti SH, HY, WP, dan DA diduga memberikan perintah kepada verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari pemohon. Dana hasil pemerasan itu kemudian dibagikan secara rutin, digunakan untuk membayar makan malam pegawai, serta dibelanjakan untuk kepentingan pribadi. Sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA turut menikmati aliran dana tersebut.
Total dana hasil pemerasan diperkirakan mencapai sedikitnya Rp53,7 miliar. Namun hingga saat ini, baru sekitar Rp5,4 miliar yang telah dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan KPK. Penyidik juga telah menyita sejumlah barang bukti, termasuk 13 kendaraan mewah serta dokumen milik agen pengurusan TKA. Penelusuran lebih lanjut masih dilakukan, termasuk kemungkinan adanya praktik serupa yang telah terjadi sebelum tahun 2019.