Selain ke delapan tersangka tersebut, KPK juga mencatat adanya aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang didistribusikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang “dua mingguan”, dan dipakai pula untuk berbagai kepentingan pribadi hingga pembelian aset atas nama pribadi maupun keluarga.
Penelususan aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan.
“Penyidik menemukan fakta bahwa perbuatan pemerasan kepada para pemohon RPTKA di Kemenaker sudah dilakukan sebelum tahun 2019 dan hal ini masih terus dilakukan pendalaman,” ucap Budi.
Konstruksi Perkara
Baca Juga:Sekjen DPR Sebut Terima Surat Forum Purnawirawan TNI soal Pemakzulan Gibran: Kami Teruskan ke PimpinanKetua Koperasi Al- Azariyah dan Pengawas Operasional Tersangka Insiden Longsor Tambang Galian C Gunung Kuda
Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkap praktik korupsi yang terstruktur dan sistematis.
RPTKA sendiri merupakan dokumen wajib yang harus dimiliki oleh perusahaan yang hendak mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Proses penerbitan izin ini berlangsung di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemenaker.
Modus operandi para tersangka melibatkan verifikator yang secara selektif hanya memproses permohonan dari pihak pemohon yang sebelumnya telah menyerahkan sejumlah uang.
Permohonan dari pemohon yang tidak memberi uang diulur-ulur atau bahkan tidak diproses sama sekali. Dalam beberapa kasus, pemohon terpaksa datang langsung ke kantor Kemenaker, di mana mereka kemudian “dibantu” oleh pegawai untuk mempercepat proses dengan syarat memberikan uang tertentu yang dikirim ke rekening yang telah ditentukan.
Pihak-pihak internal Kemenaker bahkan mengatur jadwal wawancara daring (melalui Skype) secara manual, dan hanya memberikan akses kepada pemohon yang mau menyetor uang.
Padahal, tanpa dokumen RPTKA, tenaga kerja asing tidak bisa mendapatkan izin kerja dan tinggal, yang berdampak pada denda Rp1 juta per hari. Ancaman inilah yang membuat pemohon tak punya pilihan selain tunduk pada permintaan tersebut.
Tersangka utama yang menjabat sebagai pejabat tinggi di Kemenaker, seperti SH, HY, WP, dan DA, disebut memerintahkan staf verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari para pemohon.