Keberadaan Candi Borobudur Ritual Tertinggi Para Bikkhu Thudong

Sejumlah Bhikkhu Thudong berjalan kaki menyusuri jalan raya kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/5/2025)
Sejumlah Bhikkhu Thudong berjalan kaki menyusuri jalan raya kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/5/2025)
0 Komentar

JELANG perayaan Hari Raya Waisak 2569 BE yang jatuh pada 12 Mei 2025, perhatian umat Buddha dan masyarakat luas kembali tertuju pada prosesi kedatangan para bhikkhu (biksu) yang melakukan perjalanan spiritual lintas negara menuju Candi Borobudur, Jawa Tengah.

Tradisi perjalanan ini dikenal dengan nama Thudong, sebuah ritual suci yang sarat makna dan nilai keagamaan dalam ajaran Buddha.

Thudong bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah latihan spiritual yang menuntut ketekunan, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Tahun ini, prosesi Thudong kembali dilaksanakan dengan semangat tinggi dan melibatkan bhikkhu dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.

Baca Juga:KPK Periksa Ridwan Kamil dalam Waktu DekatInisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen Tepat

Thudong adalah tradisi berjalan kaki sejauh ribuan kilometer yang dijalani para bhikkhu sebagai bentuk penghayatan terhadap ajaran Buddha. Mereka menempuh jalur panjang yang melintasi hutan, gunung, desa, hingga wilayah urban. Semakin jauh dan berat perjalanan yang ditempuh, diyakini semakin besar pula nilai spiritual yang tercapai oleh para pelakunya.

Tradisi ini berakar dari praktik keagamaan kuno di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara dengan tradisi Buddhisme Theravāda seperti Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Dalam bahasa Pali, “Thudong” sendiri merujuk pada kata dhutanga, yakni serangkaian praktik asketis yang bertujuan untuk mengikis keterikatan terhadap duniawi. Sementara dalam bahasa Thailand, kata Thu Dong berarti jalan kaki.

Secara historis, jejak Thudong dapat ditelusuri sejak abad ke-6 hingga ke-4 SM, ketika Sang Buddha sendiri disebut melakukan pengembaraan spiritual serupa sebagai bagian dari pertapaan dan perjalanannya menyebarkan Dhamma. Setelah wafatnya Sang Buddha, praktik ini diteruskan oleh para murid dan berkembang menjadi bagian penting dari tradisi monastik Buddhis.

Dalam praktik modern, Thudong menjadi bentuk ziarah sekaligus meditasi berjalan. Para bhikkhu yang menjalani prosesi ini biasanya hanya membawa perlengkapan dasar seperti jubah, mangkuk alm, payung, dan tidak membawa bekal makanan. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan kemurahan hati warga setempat melalui pemberian dana makanan (alm).

Selama perjalanan, para bhikkhu menyebarkan pesan damai, menginspirasi ketenangan batin, dan menunjukkan kedisiplinan hidup yang minim akan kemewahan duniawi. Setiap langkah yang mereka ambil juga menjadi bentuk penghayatan terhadap ajaran Buddha serta ajakan bagi masyarakat untuk hidup lebih sederhana dan penuh welas asih.

0 Komentar