PHK Massal di Industri Media Munculnya Generasi Displaced Journalists

PHK Massal di Industri Media Munculnya Generasi Displaced Journalists
Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny Januar Ali (Denny JA)
0 Komentar

Tak ada satu tempat yang melahirkannya. Ia lahir serentak di mana-mana. Di ruang-ruang redaksi yang senyap. Di surat keputusan PHK yang dingin. Di notifikasi Slack yang berkata: “We’re letting you go.”

Mengapa Mereka Terlahir? Karena dunia berubah.

  1. Teknologi telah menciptakan ghostwriters yang tak bergaji. Mesin kini bisa menulis laporan pasar, berita politik, hingga ringkasan debat.
  2. Model bisnis media ambruk. Iklan pergi ke Meta dan Google. Pembaca malas membayar paywall.
  3. Perubahan selera publik. Yang viral lebih penting dari yang benar. Yang cepat lebih penting dari yang cermat.
  4. Institusi tak lagi sakral. Dulu, redaksi adalah pelindung. Kini, jurnalis bertarung sendirian di tengah badai algoritma.

Jurnalis bukan tak dibutuhkan. Tapi jurnalisme sebagai institusi formal kini tergantikan oleh jurnalisme sebagai fungsi informal.

Bagaimana Mereka Bertahan?

Sebagian menyerah. Berpindah profesi. Menjadi penulis iklan, content creator, guru, atau bahkan penganggur. Tapi sebagian lainnya—mereka yang keras kepala dan setia pada makna kata—bertransformasi.

Baca Juga:KPK Periksa Ridwan Kamil dalam Waktu DekatInisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen Tepat

  1. Membuka kanal sendiri: Substack, newsletter, podcast, atau YouTube—mereka membangun kredibilitas personal.
  2. Menggunakan AI, bukan melawannya: AI menjadi mitra kerja, bukan musuh. Membantu riset, mengatur data, membuat naskah awal.
  3. Mengubah sudut pandang: Dari jurnalis institusional menjadi narator independen. Dari pengejar berita ke perenung makna.

Mereka sadar: redaksi mungkin mati. Tapi kebenaran, cerita, dan nurani tak bisa dibunuh.

Apa Makna Angkatan Ini bagi Dunia?

Angkatan Displaced Journalists adalah cermin perubahan zaman. Mereka mewakili nasib profesi lain yang akan menyusul. Guru, dosen, analis, desainer—semua kini hidup di bawah bayang-bayang disrupsi.

Tapi di balik derita itu, tersembunyi peluang.

Dulu, jurnalis tunduk pada agenda pemilik media. Kini, mereka bisa memilih agenda sendiri. Jika bisa membangun komunitas, kepercayaan, dan otoritas, mereka bahkan bisa lebih berpengaruh dari sebelumnya.

Displaced bukan berarti hilang. Kadang, kita harus dipindahkan agar menemukan rumah baru.

Epilog: Dari Pena ke Nurani Digital

Seorang jurnalis muda di Bandung pernah berkata setelah ia di-PHK:

0 Komentar