NAMA Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan publik setelah sederet kebijakan kontroversial yang ia gulirkan sejak menjabat sebagai gubernur Jawa Barat.
Alih-alih memberikan solusi solutif atas berbagai persoalan sosial, kebijakan populisnya justru dianggap problematik, minim etika, dan sarat pencitraan.
Tak heran jika banyak pihak menyebutnya lebih pantas dijuluki sebagai gubernur konten ketimbang pemimpin yang bekerja untuk rakyat.
Baca Juga:KPK Periksa Ridwan Kamil dalam Waktu DekatInisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen Tepat
Berikut kontroversi Dedi Mulyadi yang menuai kritik tajam dari berbagai kalangan:
Kirim siswa nakal ke barak militer
Rencana Dedi Mulyadi untuk mengirim siswa SMA “nakal” ke barak TNI menuai kecaman luas, termasuk dari lembaga HAM seperti Imparsial.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk militerisasi pendidikan yang bertentangan dengan prinsip HAM dan sistem pendidikan nasional.
Ketimbang membina siswa melalui pendekatan pedagogis dan psikologis, Dedi justru memilih cara yang mengedepankan represi.
Vasektomi jadi syarat bansos
Lebih kontroversial lagi, pria dari keluarga prasejahtera diwajibkan menjalani vasektomi sebagai syarat mendapatkan bantuan sosial. Kebijakan ini jelas mencederai prinsip kemanusiaan dan hak atas tubuh sendiri.
Banyak pihak menilai langkah ini tidak etis dan memalukan, terutama karena menyasar kelompok rentan demi efisiensi bantuan yang diklaim lebih “adil”.
Larangan wisuda dari TK hingga SMA
Dedi bersikukuh melarang penyelenggaraan wisuda di sekolah-sekolah, meskipun pemerintah pusat memberi kelonggaran. Ia berdalih bahwa wisuda membebani orang tua dan memicu pinjaman ke rentenir.
Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin
Namun, pendekatan sapu jagat seperti ini malah mengabaikan konteks lokal dan keinginan masyarakat. Alih-alih memberikan solusi pendidikan yang merata dan murah, Dedi memilih mencabut hak simbolis siswa untuk merayakan pencapaian.
Larangan study tour disertai pemecatan kepala sekolah
Larangan study tour pun tak kalah bermasalah. Bahkan, kepala sekolah yang melanggar langsung dipecat. Di bawah Dedi Mulyadi, pendekatan represif seperti ini justru menunjukkan minimnya komunikasi dan dialog antara pemangku kebijakan dan pelaksana di lapangan.
Banyak yang menilai ini lebih sebagai tindakan otoriter daripada solusi pendidikan. Sejauh ini, ada dua kepala sekolah yang menjadi korban dari kebijakan ini, yakni kepala SMAN 1 Cianjur dan SMAN 6 Depok.