Mengapa Pemidanaan Direktur Pemberitaan JakTV Terkait Perintangan Penyidikan Tuai Polemik?

Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksa
Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (22/04). (Antara)
0 Komentar

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mempersoalkan publikasi pemberitaan JAK TV yang diduga dijadikan alat bukti Kejagung sebagai upaya merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice).

Menurut komite dari gabungan 10 organisasi sipil termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), delik obstruction of justice terhadap produk jurnalistik bisa menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya.

“Pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Obstruction of justice),” kata Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/04).

Baca Juga:KPK Periksa Ridwan Kamil dalam Waktu DekatInisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen Tepat

Menurut Nani, tidak ada hubungan antara pemberitaan media dan penilaian masyarakat terhadap konsentrasi penyidik dalam menangani sebuah perkara.

“Pasal 21 UU Tipikor harus digunakan secara hati-hati karena berpotensi digunakan sebagai pasal karet terhadap kritik yang seringkali disampaikan publik pada proses penegakan hukum pada kasus tindak pidana korupsi,” tambah Nani yang meyakini kasus ini baru pertama terjadi di Indonesia.

KKJ, kata dia, tetap mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi, namun mendorong agar proses hukum dilakukan secara akuntabel dan proporsional, tanpa melanggar prinsip-prinsip kebebasan pers.

Mengapa media boleh memberitakan penyidikan suatu perkara?

“(Produk) berita bukan tindak pidana, karena proses jurnalistik merupakan ruang ekspresi yang sah,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong.

Ia berpendapat media sah-sah saja memberitakan kritik terhadap proses penyidikan perkara tertentu selama menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik yang diatur Dewan Pers. Misalnya dengan menemukan dan menguji bukti yang ditemukan.

Dalam beberapa kasus, media menyoroti dugaan rekayasa kasus proses penyidikan yang berakhir dramatis.

Misalnya, kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan mantan pejabat polisi Ferdy Sambo. Awalnya, kasus ini dikonstruksi polisi sebagai saling tembak, tapi fakta persidangan menunjukkan sebaliknya.

Baca Juga:Jumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way KananTom Lembong: 100 Persen Semua Izin Impor Diterbitkan Kemendag Ditembuskan Kemenperin

Lainnya, kasus kematian siswa SMK di Semarang oleh anggota polisi yang semula dikonstruksi sebagai tawuran berakhir sebagai penembakan.

KontraS pernah melaporkan periode 2019-2022 terdapat 27 dugaan rekayasa kasus yang dilakukan kepolisian di 15 provinsi Indonesia.

Selain perkara kriminalitas, media juga ikut menyoroti kasus dugaan rekayasa vonis perkara korupsi minyak goreng baru-baru ini.

0 Komentar