Di pusat pertigaan jalan utama Kulon Progo ada patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan membawa tombak berbendera di tangannya. Ini menggambarkan betapa perkasanya sang raden ayu.
Dia memiliki keahlian naik kuda, menggunakan senjata, dan paham strategi perang. Ia pengikut tarekat Shaţţārīyah, dan terutama mengangkat-mengasuh Pangeran Diponegoro sebagai anak-didik terpentingnya sampai dewasa.
Ia meraja-lela dan membunuh musuh, termasuk Ki Simbar Jaya si pengkhianat dengan senjatanya cundrik dan selendangnya. Karena kesaktiannya, oleh masyarakat Serang sang raden ayu dijuluki Djayeng Sekar.
Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan
Kemasyurannya sebagai anggota keluarga Sunan Kalijaga yang dimuliakan itu, belum lagi kehidupannya sebagai seorang pejuang dan perempuan pertapa, memungkinkan Nyi Ageng Serang memberikan pengaruh penting pada penduduk daerah asalnya, Serang-Demak, bahkan lama setelah Perang Jawa resmi berakhir, 28 Maret 1830.
Setelah Raden Mas Papak menyerah, Nyi Ageng Serang hidup dalam pengawasan Belanda. Mencapai usia 93 tahun, ia hidup lebih lama dibanding putranya, Pangeran Serang II, maupun cucunya, Raden Mas Papak dan kerabatnya, Pangeran Diponegoro.
Ketika perempuan perkasa itu wafat pada 10 Agustus 1855, penguasa Belanda di Yogya yang selalu mengawasinya selama dua dasawarsa terkahir kehidupannya merasa amat lega.
Saat terjadi Perang Jawa, perempuan kesatria sakti dan pertapa ini angkat senjata memimpin pasukan berkekuatan 500 orang melawan Belanda.
Korps prajurit èstri yang terkenal sebagai pasukan elite. Para perempuan ningrat itu terlatih dan piawai menggunakan aneka senjata seperti tameng, busur, panah beracun, tombak, tulup, atau bedil, selain dilatih menari, menyanyi, dan memainkan musik.
Dikutip dari Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, karya Peter Carey dan Vincent Houben. Dalam buku hariannya, Jan Greeve (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) mencatat hasil kunjungannya ke Surakarta (Solo) pada 31 Juli 1788: prajurit perempuan menembakkan salvo “dengan teratur dan tepat sehingga membuat kita kagum” sambil “menembakkan senjata tangannya [karben kavaleri] sebanyak tiga kali dengan sangat tepat…diikuti tembakan senjata kecil [artileri].”
Dapat dibayangkan bahwa Perang Diponegoro merupakan perang besar di Jawa selama periode awal abad 19.