“Empat puluhan perempuan duduk berbaris di bahwa takhta (sunan) dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil […] harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan.”
Catatan harian pasukan estri itu telah dikerjakan secara hati-hati oleh Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008 dengan judul Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Indonesia dengan judul “Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of A Lady Soldier”.
Buku harian itu terdiri atas 303 lembar kertas kulit kayu dan ditulis di kediaman Mangkunegara I, beraksara Jawa dan sedikit Arab Pegon. Berkat catatan tersebut kita dapat mengetahui peristiwa politik, ekonomi, kehidupan rumah tangga dan sisik-melik pasukan Mangkunagaran sekitar 1781-1791.
Baca Juga:Inisiatif Putra Presiden Prabowo Temui Megawati dan Jokowi Tedukan Dinamika Politik, Waketum PAN: Momen TepatJumlah Setoran Uang Judi Sabung Ayam Diduga Pemicu 3 Polisi Tewas Ditembak Oknum TNI di Way Kanan
Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (menjabat 1787-91), mencatat korps Srikandi ini pandai menunggang kuda dan mampu menembakkan salvo dengan teratur dan tepat, sehingga membuat kita kagum. Peter Carey menambahkan keterampilan korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri.
Tak hanya lihai mempergunakan senjata, laskar perempuan ini juga diajari menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta. Pada perayaan agama, prajurit perempuan ini juga ditugaskan menari.
Keluwesan dan kecakapan para prajurit estri ini juga memikat Herman Willem Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-11), saat ia mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali dan disuguhkan perang-perangan 40 prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.
Soal pakaian, mereka berseragam layaknya prajurit. Namun mereka menyalin busana gaya emas maskulinnya, lalu menggantinya dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah.
Tentang imaji laskar perempuan Mangkunagaran, ada Rubiyah dari Desa Matah—sohor dengan nama Matah Ati. Perempuan inilah yang mendampingi perjuangan gerilya Raden Mas Said melawan VOC. Rubiyah dikenang sebagai panglima korps prajurit estri.